Asas kemanusiaan yang terabaikan
Kasus Nur Amira menunjukkan bagaimana aturan bisa menindas orang kecil jika tidak diimbangi dengan asas perikemanusiaan yang adil dan beradab. Demi menegakkan regulasi keimigrasian, seorang ibu dan anak dipaksa hidup dalam ketidakpastian.
Padahal, konstitusi kita jelas menjunjung tinggi martabat manusia. Apalagi menyangkut perempuan dan anak yang seharusnya mendapat perlindungan lebih.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia semestinya tidak hanya melihat persoalan ini sebatas hitam putih soal dokumen, tetapi juga memandang dari sisi kemanusiaan. Menetapkan status kewarganegaraan atau memberikan perlindungan hukum khusus bagi Nur Amira adalah langkah yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
Nur Amira tidak meminta banyak. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putrinya, seperti keluarga lain. Ia tidak pernah melanggar hukum pidana, tidak pula mengganggu orang lain. Yang ia butuhkan hanyalah pengakuan dan kepastian hukum, agar bisa membesarkan Zahira dengan layak.
Menegakkan aturan memang penting. Tetapi, aturan yang mengorbankan martabat dan hak asasi manusia justru kehilangan makna. Seperti pesan Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab seharusnya menjadi dasar dalam setiap keputusan.
Kasus ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Suara masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan pembaca seperti kita sangat penting untuk mendorong pemerintah kedua negara mencari jalan keluar yang lebih manusiawi.
Mari kita bersama-sama menyuarakan bahwa Nur Amira bukan kriminal, melainkan seorang ibu yang berhak hidup damai bersama anaknya.
Sumber bacaan:
https://www.kompas.id/artikel/diusir-indonesia-dan-malaysia-nur-amira-saya-bukan-kriminal
Renungan kecil di malam musim semiÂ