Sumber: https://www.kompas.id/artikel/diusir-indonesia-dan-malaysia-nur-amira-saya-bukan-kriminal
Kisah Pilu Nur Amira dan Putrinya
Kasus Nur Amira mestinya bisa diselesaikan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan perlindungan atas perempuan serta anak.
Terjebak "limbo" kewarganegaraan
Nur Amira bukanlah orang asing di negeri ini. Sejak usia 8 tahun, ia sudah menetap di Kota Payakumbuh dan bahkan memiliki KTP. Ia dikenal sebagai ibu tunggal yang berusaha hidup sederhana tanpa mengganggu orang lain.
Namun, belakangan ia menjadi korban dari status kewarganegaraan yang tak diakui baik oleh Indonesia maupun Malaysia.
Indonesia menilainya tinggal melebihi batas izin kunjungan.
Malaysia menganggapnya pendatang gelap karena identitasnya tidak ada di pangkalan data kependudukan.
Akibatnya, Nur Amira bolak-balik dideportasi. Bahkan, ia pernah dipenjara dua bulan di Malaysia. Kini, Imigrasi Agam kembali berencana mendeportasinya ke negeri jiran itu.
Air mata seorang anak
Di sisi lain, Zahira, anak semata wayangnya, hanya bisa menahan rindu di rumah mereka di Nagari Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota. Sejak perpisahan itu, ia menjalani hari-hari dengan kalut, penuh rasa takut dan kesedihan.
Bayangkan seorang remaja berusia 15 tahun harus melewati masa sekolah tanpa dukungan ibunya di sisi. Situasi ini jelas meninggalkan luka batin yang dalam.
Asas kemanusiaan yang terabaikan
Kasus Nur Amira menunjukkan bagaimana aturan bisa menindas orang kecil jika tidak diimbangi dengan asas perikemanusiaan yang adil dan beradab. Demi menegakkan regulasi keimigrasian, seorang ibu dan anak dipaksa hidup dalam ketidakpastian.
Padahal, konstitusi kita jelas menjunjung tinggi martabat manusia. Apalagi menyangkut perempuan dan anak yang seharusnya mendapat perlindungan lebih.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia semestinya tidak hanya melihat persoalan ini sebatas hitam putih soal dokumen, tetapi juga memandang dari sisi kemanusiaan. Menetapkan status kewarganegaraan atau memberikan perlindungan hukum khusus bagi Nur Amira adalah langkah yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
Nur Amira tidak meminta banyak. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putrinya, seperti keluarga lain. Ia tidak pernah melanggar hukum pidana, tidak pula mengganggu orang lain. Yang ia butuhkan hanyalah pengakuan dan kepastian hukum, agar bisa membesarkan Zahira dengan layak.
Menegakkan aturan memang penting. Tetapi, aturan yang mengorbankan martabat dan hak asasi manusia justru kehilangan makna. Seperti pesan Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab seharusnya menjadi dasar dalam setiap keputusan.
Kasus ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Suara masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan pembaca seperti kita sangat penting untuk mendorong pemerintah kedua negara mencari jalan keluar yang lebih manusiawi.
Mari kita bersama-sama menyuarakan bahwa Nur Amira bukan kriminal, melainkan seorang ibu yang berhak hidup damai bersama anaknya.
Sumber bacaan:
https://www.kompas.id/artikel/diusir-indonesia-dan-malaysia-nur-amira-saya-bukan-kriminal
Renungan kecil di malam musim semiÂ
Tjiptadinta EffendiÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI