Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

One in a Million Moments

6 September 2025   20:19 Diperbarui: 6 September 2025   20:19 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dulu  65 tahun yang lalu, Bernard sering saya gendong/ dokumentasi pribadi 

Bagaikan Kisah Dongeng 

Awal Januari lalu, ketika kami pulang kampung, saya dan istri menyempatkan diri untuk mengunjungi kakak saya yang kini menetap di Cijerah, Bandung. Yang adalah satu-satunya saudara kandung yang masih bersama saya di dunia ini, dari total sebelas bersaudara, seayah dan seibu. Kini, di usianya yang ke-85 tahun, Masih diberi kesehatan dan semangat hidup yang luar biasa. Bisa duduk bersama, bercakap.cakap, dan mengenang masa lalu dengannya adalah anugerah yang tak ternilai.

Ketika sedang asyik berbincang, tiba.tiba datang seorang pria yang ternyata adalah besan kakak saya. Jujur, saya belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, saat melihat wajahnya, hati saya seperti digelitik oleh rasa familiar. Ada sesuatu yang membuat saya merasa pernah mengenalnya.

Tanpa banyak basa basi, pria itu menghampiri saya, memberi salam hormat, lalu memeluk saya erat.erat. Saya sempat kaget sekaligus bingung. Siapa gerangan dia? Mengapa begitu akrab?

Ternyata, betapa terkejutnya saya ketika mengetahui bahwa pria itu adalah adik dari sahabat saya semasa SMP Frater di Padang—sekaligus tetangga saya di Jalan Kali Kecil. Namanya Bernard. Dahulu, ketika masih kecil, Bernard sering saya gendong dan ajak bermain. 

Kini, puluhan tahun kemudian, anak kecil yang dulu sering berada dalam pelukan saya itu hadir di hadapan saya, sebagai besan dari kakak saya sendiri, Yanita Effendi.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 
Bayangkan, lebih dari enam dekade kami kehilangan kontak, tak pernah bertemu, tak tahu kabarnya, dan kini dipertemukan kembali dalam suasana yang begitu mengharukan. Saat kami berpelukan, seolah.olah waktu mundur ke masa lalu. Saya hampir tak bisa berkata apa.apa, mata terasa basah, dan hati penuh rasa syukur. Rasanya sungguh bagaikan mimpi.

Momen ini bukan hanya sekadar pertemuan kembali setelah puluhan tahun, melainkan juga sebuah pengingat indah bahwa dunia ini memang sempit dalam cara yang misterius. Kadang, hidup menghadirkan kejutan-kejutan kecil yang mampu membuat hati kita penuh rasa syukur.

Saya percaya, kejadian ini bukanlah kebetulan semata. Ada tangan Tuhan yang dengan lembut mengatur langkah-langkah hidup manusia, sehingga lingkaran kehidupan yang sempat terputus bisa terjalin kembali dengan cara yang tak pernah kita duga.

Kehadiran kakak saya yang sudah berusia 85 tahun menambah makna mendalam dari peristiwa ini. Dalam usianya yang senja,  masih bisa menyaksikan betapa indahnya kehidupan mempertemukan kembali orang-orang yang dulu pernah dekat dengan kami. Saya dapat melihat pancaran kebahagiaan di wajahnya, dan saya merasa bahwa momen ini adalah hadiah yang luar biasa dari Tuhan—sebuah berkat yang tak semua orang bisa alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun