Belajar Bersyukur dari Pria yang Tidur di Gerobak Selama Enam Tahun
Pernahkah kita merasa hidup ini begitu berat, seakan beban dunia ada di pundak kita? Pernahkah kita menatap orang lain yang hidupnya terlihat lebih mudah, lalu bertanya dalam hati, "Mengapa saya harus mengalami semua ini?"
 Saya pun pernah berada di titik itu.merasa menjadi orang paling menderita. Namun, sebuah pertemuan tak terduga dengan seorang pria yang tidur di gerobak selama enam tahun telah mengubah cara pandang saya selamanya.
Jam 03.00 dini hari, istri saya sudah harus bangun. Sambil menggendong putra pertama kami yang belum genap berusia empat tahun, Berjalan menuju Stasiun Kereta Api. Dari sana, Menumpang kereta menuju Stasiun Pariaman perjalanan sekitar satu jam, untuk membeli kelapa di sana.
Sementara itu, saya sudah mulai bekerja di kedai yang sekaligus menjadi tempat tinggal kami. Pekerjaan saya mengupas kelapa dan mempersiapkannya untuk dijual. Pelanggan kami kebanyakan adalah tukang cendol dan pemilik kedai nasi. Mereka sudah mulai beraktivitas sejak dini hari agar dagangan mereka siap dijual saat matahari terbit.
Masa itu sungguh berat. Istri saya yang tubuhnya tinggal 42 kg, tetap bekerja tanpa henti setiap hari, tanpa jeda di hari Minggu. Sementara anak kami, Irmansyah Effendi, harus ikut ibunya di pagi buta. Bukan karena kami ingin membebani anak, tetapi untuk menjaga keselamatan istriku. Di lingkungan kami, pandangan negatif mudah muncul jika seorang wanita muda keluar sendirian saat hari masih gelap. Dengan membawa anak, orang mengerti bahwa ia sedang mencari nafkah.
Pencerahan Dari Seorang PemulungÂ
Bertahun-tahun kemudian, hidup kami berubah total. Namun di dalam memori saya, masa-masa itu masih terasa sebagai periode paling menderita dalam hidup kami. Hingga suatu hari, saya mendapat pelajaran berharga.
Ketika berkesempatan pulang ke Indonesia, saya dan istri berkunjung ke kantor putra kedua kami, Irwan Effendi, di Jalan Tongkol, Jakarta. Di depan kantor itu, saya melihat seorang pria setengah baya sedang merapikan botol plastik dan kaleng bekas. Saya menyapanya dan ia memperkenalkan diri sebagai M. Syafei, asal Demak.
Dengan nada tenang, ia bercerita bahwa sudah enam tahun ia tinggal di dalam gerobak, demi membiayai sekolah putra semata wayangnya. Ia meninggalkan desa sejak anaknya berusia 8 tahun. "Alhamdulillah, dengan cara begini, anak saya sekarang sudah SMP dan juara kelas," ujarnya sambil tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan.