Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyayangi Secara Keliru

14 Juli 2025   20:26 Diperbarui: 14 Juli 2025   20:26 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi 

Perlu Untuk Dicatat

Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dengan penuh perjuangan, ketika sudah dewasa dan hidupnya mulai membaik, biasanya ingin membalas budi kepada orang tuanya. 

Mereka berusaha memanjakan orang tua dengan berbagai cara, sebagai bentuk bakti dan cinta kasih. Hal ini terutama sering terjadi di keluarga-keluarga yang tinggal di kota besar.

Daripada saya menuliskan kisah keluarga orang lain, lebih baik saya berbagi tentang keluarga saya sendiri. Kami hidup dalam kesederhanaan yang luar biasa, bahkan sebenarnya layak disebut hidup dalam kemiskinan, meski banyak yang enggan mengakuinya.

Sejak saya kecil, ayah sudah bangun subuh setiap hari. Beliau menimba air dari sumur yang airnya keruh berwarna kuning, karena tanah tempat kami tinggal adalah tanah liat. Air itu disaring dengan ijuk dan pasir laut yang ditaruh dalam drum bekas yang dipotong dua. Air ini digunakan agar anak-anak bisa mandi dengan bersih sebelum berangkat sekolah.

Setelah itu, ayah membersihkan kebun pisang yang menjadi penghasilan tambahan keluarga. Ia lalu memotong kayu untuk dijadikan bahan bakar memasak, sebelum buru-buru pergi ke tempat kerja.

Sementara itu, ibu juga bangun subuh. Ia memasak bubur untuk sarapan kami sebelum ke sekolah. Setelah kami berangkat sekolah dengan berjalan kaki, ibu pergi ke Pasar Tanah Kongsi untuk belanja. Sepulang dari pasar, ia memasak lagi. Setelah itu, mencuci pakaian kotor kami yang menumpuk. Lalu, mempersiapkan palai bada, makanan khas Padang, untuk saya jual sepulang sekolah.

Setelah Kehidupan Berubah

Ketika kakak-kakak saya mulai bekerja, keadaan perlahan membaik. Atap rumah yang sebelumnya dari rumbia, diganti dengan seng. Dinding yang dulu dari palupuh anyaman bambu,diganti dengan papan. Lantai tanah liat kami disemen untuk pertama kalinya.

Dulu, kami harus duduk di bawah tiang listrik untuk belajar, agar bisa mendapat penerangan gratis dari lampu jalan. Di rumah, hanya ada lampu minyak dengan cemporong. Tapi kini, kami punya lampu listrik.

Setelah kakak-kakak menjadi pengusaha, rumah kami pun punya pembantu. Ada tukang cuci dan setrika, ada pula sopir pribadi. Ayah tak perlu lagi menimba air karena sudah ada instalasi air ledeng. Ibu juga tak harus mencuci atau ke pasar, karena semua kebutuhan rumah tangga sudah ada yang mengurus.

Awalnya, semua ini terasa sangat menyenangkan. Ayah dan ibu bisa hidup santai. Kalau lapar, tinggal beli makanan yang dijual di depan rumah: sate Padang, gado-gado, rujak, bakpao, dan lainnya.

Namun tanpa disadari, karena hampir tidak ada lagi aktivitas fisik, tubuh mereka mulai melemah. Kesehatan perlahan menurun. Padahal niat kami sebagai anak-anak sangat baik, ingin menyenangkan mereka. Tapi caranya ternyata kurang tepat. Kami melarang mereka menyapu halaman, pergi ke pasar, atau membersihkan kebun. Akibatnya, karena tubuh jarang bergerak, mereka lebih mudah sakit.

Pesan Ini Kami Sampaikan kepada Anak-Anak Kami

Menyadari bahwa niat baik bisa berdampak kurang baik, kami selalu mengingatkan anak-anak kami agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hingga kini, meskipun kami diberikan kendaraan oleh putra kami, kami tetap mengurus kebutuhan sendiri. Mulai dari belanja, memasak, mengemudi, mencuci, hingga menyetrika.

Putra kami hanya mengingatkan, "Papa, jangan ngebut ya. Sudah dua kali kena tilang karena melanggar kecepatan. Denda dua kali, totalnya 420 dolar. Nggak apa-apa, saya yang bayar, tapi papa hati-hati ya." Saya jadi malu. Dulu saya yang menasihati anak-anak, sekarang justru saya yang dinasihati.

Putra kedua kami, Irwan, yang tinggal di Jakarta, pernah menelepon dan berkata, "Papa ngajar online lagi ya." Saya kaget, karena sudah lama tidak mengajar. Tapi Irwan menjawab santai, "Belajar dulu aja, Pa. Kalau papa ngajar lagi, kan lumayan, bisa buat tambahan belanja." Lalu dia tertawa dan menutup telepon.

Bulan lalu, ketika kami mengunjungi putri kami, Irvianty, di Wollongong, saya sempat meminta bantuan untuk menerjemahkan formulir. Tapi jawabannya justru membuat saya terdiam: "Papa Mama sudah tinggal di sini lebih dari sepuluh tahun, masa nggak bisa terjemahkan sendiri?" katanya sambil tertawa.

Ketika saya ceritakan kepada istri saya, dia malah tertawa juga dan berkata, "Anak-anak kita cuma menjalankan apa yang kita ajarkan selama ini."

Dan ya, kalimat itu benar-benar menyentuh hati. Seakan menampar saya dengan cinta: bahwa jika kita mengajarkan untuk tidak malas belajar, maka kita pun harus konsisten menjalankannya.

Renungan

Tulisan ini hanyalah sebuah renungan sederhana. Bahwa niat menyenangkan hati orang tua adalah hal yang sangat mulia. Namun bila salah dalam caranya, bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental mereka.

Biarkanlah orang tua tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Jangan direbut semua pekerjaannya. Karena justru dari aktivitas sederhana seperti belanja, memasak, menyapu, dan berkebun, mereka mendapat semangat dan kegembiraan untuk hidup.

Semoga pengalaman kami bisa menjadi pelajaran. Jangan sampai generasi sekarang mengulangi kekeliruan generasi sebelumnya. Karena kadang, bentuk cinta yang paling tulus bukanlah dengan melayani sepenuhnya, tapi dengan tetap memberi ruang bagi orang tua untuk merasa berguna dan berdaya

Renungan kecil di malam musim dingin 

Tjiptadinata Effendi 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun