Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyayangi Secara Keliru

14 Juli 2025   20:26 Diperbarui: 14 Juli 2025   20:26 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi 

Setelah kakak-kakak menjadi pengusaha, rumah kami pun punya pembantu. Ada tukang cuci dan setrika, ada pula sopir pribadi. Ayah tak perlu lagi menimba air karena sudah ada instalasi air ledeng. Ibu juga tak harus mencuci atau ke pasar, karena semua kebutuhan rumah tangga sudah ada yang mengurus.

Awalnya, semua ini terasa sangat menyenangkan. Ayah dan ibu bisa hidup santai. Kalau lapar, tinggal beli makanan yang dijual di depan rumah: sate Padang, gado-gado, rujak, bakpao, dan lainnya.

Namun tanpa disadari, karena hampir tidak ada lagi aktivitas fisik, tubuh mereka mulai melemah. Kesehatan perlahan menurun. Padahal niat kami sebagai anak-anak sangat baik, ingin menyenangkan mereka. Tapi caranya ternyata kurang tepat. Kami melarang mereka menyapu halaman, pergi ke pasar, atau membersihkan kebun. Akibatnya, karena tubuh jarang bergerak, mereka lebih mudah sakit.

Pesan Ini Kami Sampaikan kepada Anak-Anak Kami

Menyadari bahwa niat baik bisa berdampak kurang baik, kami selalu mengingatkan anak-anak kami agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hingga kini, meskipun kami diberikan kendaraan oleh putra kami, kami tetap mengurus kebutuhan sendiri. Mulai dari belanja, memasak, mengemudi, mencuci, hingga menyetrika.

Putra kami hanya mengingatkan, "Papa, jangan ngebut ya. Sudah dua kali kena tilang karena melanggar kecepatan. Denda dua kali, totalnya 420 dolar. Nggak apa-apa, saya yang bayar, tapi papa hati-hati ya." Saya jadi malu. Dulu saya yang menasihati anak-anak, sekarang justru saya yang dinasihati.

Putra kedua kami, Irwan, yang tinggal di Jakarta, pernah menelepon dan berkata, "Papa ngajar online lagi ya." Saya kaget, karena sudah lama tidak mengajar. Tapi Irwan menjawab santai, "Belajar dulu aja, Pa. Kalau papa ngajar lagi, kan lumayan, bisa buat tambahan belanja." Lalu dia tertawa dan menutup telepon.

Bulan lalu, ketika kami mengunjungi putri kami, Irvianty, di Wollongong, saya sempat meminta bantuan untuk menerjemahkan formulir. Tapi jawabannya justru membuat saya terdiam: "Papa Mama sudah tinggal di sini lebih dari sepuluh tahun, masa nggak bisa terjemahkan sendiri?" katanya sambil tertawa.

Ketika saya ceritakan kepada istri saya, dia malah tertawa juga dan berkata, "Anak-anak kita cuma menjalankan apa yang kita ajarkan selama ini."

Dan ya, kalimat itu benar-benar menyentuh hati. Seakan menampar saya dengan cinta: bahwa jika kita mengajarkan untuk tidak malas belajar, maka kita pun harus konsisten menjalankannya.

Renungan

Tulisan ini hanyalah sebuah renungan sederhana. Bahwa niat menyenangkan hati orang tua adalah hal yang sangat mulia. Namun bila salah dalam caranya, bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun