Ket.foto: Disinilah dulu saya jualan kelapa dan sekalgus tinggal selama bertahun tahun,yakni Pasar Tanah Kongsi"/dokumentasi pribadi
Hukum Sebab Akibat Tak Terhindarkan
Mungkin para pembaca semuanya ,sudah pernah mendengarkan istilah :" Hukum sebab akibat "  Tapi tulisan ini sama sekali tidak masuk dalam ranah hukum. Karena walaupun saya pernah kuliah di Fakultas Hukum  - Universitas Andalas di Padang,tapi saya drop out dan tidak sampai menguasai ilmu hukum. Jadi tulisan ini,hanya minjam kosa kata :"hukum" tapi esensialnya sama sekali tidak menyentuh masalah hukum ,melainkan menyangkut masalah kehidupan .
ket.foto: dulu neneknya jualan sayur di depan kedai kami,kini anaknya yang menggantikan /dokumentasi pribadi
Kembali Kejudul
Bila orang tua mendidik anak anaknya secara otoriter ,apalagi dilengkapi dengan alat siksa seperti rotan yang dibelah ujungnya,agar bila terkena kulit anak akan berdarah, maka sebagai akibatnya,kelak bila si anak yang dididik secara otoriter sempat bertahan hidup dan berkeluarga,mak hampir dipastikan akan mendidik anak anaknya,sesuai dengan apa yang dialaminya. Tulisan ini hanya pandangan secara umum dan tidak menunjuk kepada pribadi seseorang
Tulisan ini terinspirasi oleh karena pagi tadi saya menerima telpon dari salah seorang anak tetangga kami sewaktu masih tinggal di Pasar Tanah Kongsi di Padang .Sebut saja namanya Nancy. "Selamat pagi Om. saya dapat  nomor telpon Om dari keponakan Om . Boleh saya menganggu sebentar ?"
Dan saya jawab:" Boleh ,Nancy, pagi ini Om masih dirumah. Apa kabar nih? "  Dan selanjutnya Nancy bercerita banyak tentang hal hal yang bersifat pribadi,yang tentu tak elok saya ungkapkan disini . Inti pembicaraan adalah ,Nancy menyesali  papanya yang bersikukuh tidak mau keluar dari Pasar Tanah Kongsi,karena berprinsip:"Sudah ada tempat berteduh dan sudah bisa makan 3 kali sehari,mau apalagi?" Akibatnya,anak anak hanya bisa sekolah hingga SMP dan selanjutnya ,mulai menjalani hidup sesuai dengan ritual yang sudah dipateri oleh kedua orang tua mereka,yakni :"Jualan lontong dan kue kue".Â
Hampir setengah jam Nancy bercerita dan kemudian ditutup dengan nada sedih ,sambil berkata :" Nancy tidak tahu ,bagaimana nasib ketiga anak anak kami. Mau pindah, papa mama sudah tidak kuat lagi . Tolong doakan ya Om"Â
Refleksi Diri
Begitu pembicaraan usai,saya sempat terpana beberapa saat dan bilang pada isteri saya :"Syukur kita dulu berani ambil resiko dengan keluar dari Pasar Tanah Kongsi ya. Coba kalau masih bertahan jualan kelapa...? " Tak berani saya membayangkan seperti apa hidup anak cucu kami,seandainya kami masih tinggal di Pasar Tanah Kongsi. Memang ada beberapa orang yang punya toko yang cukup besar di Tanah  Kongsi,tapi dapat dihitung dengan jari tangan,selebihnya kami saksikan dengan mata kepala sendiri,bahwa ritual hidup yang pernah kami lalui sewaktu jualan kelapa di Pasar Tanah Kongsi,hingga kini masih dijalani oleh para tetangga kami dulu.Yakni bangun jam 03.00 subuh ,untuk mempersiapkan barang barang yang mau dijual "Membayangkannya saja,membuat saya merinding.  Hal ini semakin melambungkan rasa syukur kami kepada Tuhan
Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi para pembaca,bahwa jalan hidup yang dipilih ,resikonya tidak hanya ditanggung secara pribadi,tapi anak cucu kelak akan ikut menanggung,baik atau buruk.Â
Tjiptadinata Effendi