Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Pribadi: 12 Hari Berada dalam "Neraka"

1 Juli 2021   17:18 Diperbarui: 2 Juli 2021   05:13 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: depositphotos.com

Mungkin Ada Manfaatnya Untuk Diceritakan

Secara umum, orang malu menceritakan aib sendiri karena bagaikan menepuk air didulang yang akan basah adalah wajah sendiri. Apalagi bila airnya ada cabenya, maka di samping basah, wajah juga akan kepanasan. Tetapi setiap manusia itu memang diciptakan Tuhan secara berbeda. Setiap orang memiliki keunikan tersendiri, termasuk diri saya sendiri.

Bagi saya yang berlaku justeru bertolak belakang, yakni saya tidak ingin menanggung beban batin karena menyimpan aib atau apa saja yang dianggap aib di masa lalu. Saya ingin hidup bebas tanpa belenggu masa lalu dan ingin hidup tanpa topeng. Pejalanan hidup saya dipajang di etalse, yang dapat ditonton oleh setiap orang, sehingga kelak orang tidak akan pernah menyesal menjadi sahabat saya. Karena itu, suatu waktu ada yang mengirimkan pesan via WA ke saya yang isinya, "Maaf Pak Tjip sering menulis tentang travelling ke berbagai negara. Sepertinya "wah banget" tapi seandainya ada yang tahu bahwa pak Tjip adalah anak seorang Kusir Bendi, bagaimana pak Tjip akan menjelaskannya?"  

Mungkin yang bertanya, amat yakin, bahwa saya akan kaget bahwa "Aib saya" ternyata ada yang tahu. Tapi saya hanya menjawab santai, bahwa sebelum ada yang tahu, justru saya yang sudah terlebih dulu menuliskannya sejak 20 tahun yang lalu bahwa saya adalah anak seorang Kusir Bendi di Kota Padang.

Bukan Untuk Menarik Simpati

Membagikan sepotong kisah hidup, tentu bukan  untuk menarik rasa  simpati maupun  mencari sensasi. Maksud utama menuliskan sepotong kisah kelam dari perjalanan hidup saya adalah untuk menjadi pengingat bagi orang banyak, bahwa sesuatu yang sama sekali tidak diduga bisa saja terjadi sewaktu waktu. Dan apa yang terjadi atas diri saya, bukan tidak mungkin bisa juga terjadi atas diri orang lain Karena itu setiap orang perlu memiliki sikap mental, "Hope for the best, but ready for the worst".

Ditangkap tanpa Surat Perintah 

Singkat cerita saya ditangkap di malam hari dan dibawa dengan kendaraan pikup terbuka menuju ke suatu kota yang jaraknya sekitar 130 kilometer dari Kota Padang.  Pada waktu itu saya datang untuk memenuhi panggilan karena memang sama sekali tidak merasa bersalah. Saya mengemudikan kendaraan dan didampingi isteri saya. Tapi begitu saya masuk tiba dan menghadap kepada pejabat yang memanggil, saya langsung ditahan. Hanya diberikan waktu satu menit untuk pamitan pada isteri saya di mobil dengan dikawal oleh 2 orang petugas, seakan diri saya adalah penjahat. Tentu saja isteri saya kaget dan menangis, tapi saya tidak punya waktu untuk bercerita panjang lebar. Saya hanya memeluk isteri saya dan berkata, "Koko tidak berbuat. salah apapun. Jangan kuatir ya, sayang." 

Mendekati Tengah Malam Saya Tiba di Tempat Tujuan 

Berada di pickup terbuka dalam perjalanan selama 2 jam menyebabkan tubuh saya mengigil . Saya tidak tahu sedang berada di mana, Bahkan ketika saya ditangkap tidak ada sepucuk surat pun pada istri saya. Mendekati tengah malam, saya disuruh turun dan sekilas saya membaca tulisan di depan pos jaga bahwa saya berada di Payakumbuh.

Begitu turun, saya diperintahkan masuk ke dalam sel. Dalam sel hanya ada beberapa lembar kardus bekas dan selembar papan triplek bekas. Ada air  mengenang dari  limbahan toilet di atas papan penuh kecoa dan beragam serangga yang menyelamatkan diri dari genangan air. Sepanjang malam saya hanya bisa duduk menahan rasa kantuk lelah lahir batin dan lapar. Ketika saya  ke toilet, harus mau kaki terendam air wc yang menggenang di lantai, namun tak ada pilihan lain. 

Dalam kondisi letih dan kantuk,serta lapar 

Belum sempat tidur sesaat pun, tetiba pintu sel digedor dan petugas memerintahkan saya keluar untuk menghadap Pemeriksa. Ternyata ada laporan bahwa saya telah mengirimkan barang palsu ke luar negeri, padahal dari pihak pembeli sama sekali tidak pernah komplain, bahkan hubungan bisnis kami berjalan sangat baik selama bertahun tahun.

Saat saya diperintahkan  menanda tangani surat pengakuan dan saya menolak, maka Petugas yang menginterogasi saya menjadi berang, serta mengebrak meja sekeras kerasnya.  Boleh jadi maksudnya mau menakuti nakuti  saya. Biasanya orang yang seperti saya yang biasa disebut "warga keturunan" sangat gampang diintimidasi. Petugas  ini lupa bahwa tidak semua orang takut mati.

Saya sudah menghadang maut  berkali kali, apalagi yang saya takuti dalam hidup ini. Menyaksikan gertak sambal petugas, saya hanya berdiam diri. Sikap saya  membuatnya semakin  berang karena mungkin yang diharapkan adalah suara saya yang memohon-mohon dan langsung menanda tangani surat pengakuan bersalah.

Dibebaskan Karena  Tidak Cukup Bukti

Setelah meringkuk selama  12 hari dalam tahanan, akhirnya Pengacara saya datang dan mengatakan, " Pak Effendi, ada kabar baik. Besok anda bebas. Berkas perkara dikembalikan kejaksaan, karena tidak cukup bukti." Di samping itu ada surat dari Kementerian  Perdagangan yang menegor aparat, agar jangan terlalu jauh masuk ke dalam urusan dagang yang bukan wewenang mereka, karena akan menjebabkan jumlah ekspor menjadi anjlok. Justru di saat pemerintah menggalakan ekspor untuk menjaring devisa bagi pemerintah.

Serasa Keluar dari Neraka

Pagi pagi di hari ke-13, istri saya datang bersama pengacara menjemput saya di tahanan. Kami berdua bersujud syukur kepada Tuhan karena kebebasan ini bagaikan keluar dari neraka jahanam. Selama dalam tahanan, sungguh bagaikan di neraka. Diinterogasi di tengah malam secara bolak-balik dan diperlakukan sebagai seorang penjahat kambuhan.

Peristiwa ini  sudah lama berlalu, tapi  trauma yang diakibatkannya tidak pernah akan dapat saya lupakan. Masuk tahanan  karena kesalahan yang dilakukan adalah wajar. Sesuai dengan peribahasa "Tangan mencencang, bahu memikul." Tapi saya ditahan, karena saya tidak mau membayar upeti.

Semoga hal semacam ini jangalah sampai terjadi pada diri orang lain 

Catatan tambahan: kisah ini dulu dimuat di harian Singgalang dan harian Haluan terbitan Padang dan menjadi Headline berita .

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun