Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tata Krama dalam Etnis Tionghoa Alami Kepunahan

8 September 2020   21:14 Diperbarui: 9 September 2020   04:13 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: travel kompas com

Terjajah Oleh Gawai atau Tergerus Kemajuan Zaman?

Tempo dulu, tatakrama dalam masyarakat etinis Tionghoa sangat ketat diajarkan pada anak cucu. Bukan hanya dalam bersikap tapi sekaligus panggilan apa yang harus disematkan pada sanak famili ada kaidah tersendiri. Panggilan kehormatan untuk keluarga dari pihak ayah,berbeda dengan panggilan pada saudara dari pihak ibu. Sebagai contoh,saya sebagai anak nomor 6 dari saudara  ,maka di panggil :"Lakcek " oleh anak anak kakak saya dan isteri saya mendapatkan sebutan kehormatan dengan panggilan :"Lakcim" Maka dengan mendengarkan panggilan kehormatan saja,orang sudah tahu tingkat hubungan pertalian keluarga 

Memanggil kakak yang lebih tua tidak boleh menyebut langsung nama yang bersangkutan, tapi didahului dengan panggilan "Koko" Kalau kakak perempuan dipanggil "Cece " Bahkan walaupun bukan saudara kandung, kalau hubungan cukup dekat, maka juga dipanggil dengan sebutkan "koko" dan "Cece".Kalau orang yang setingkat orang tua kita dipanggil dengan sebutan "Engku" yang berarti paman dan kalau isterinya dipanggil "Engkim".  

Ini hanya sekedar contoh saja, karena kalau mau dibuat daftarnya ntar yang baca bisa pusing sendiri karena sarat dengan pernak pernik, misalnya ada Tuako, Jiko, Shako dan seterusnya. Tapi belakangan ini, hampir semua nama panggilan hilang pupus.

Berhadapan dengan orang Selevel orang tua, harus dengan "Soja"

Kalau berhadapan dengan orang yang setingkat ayah dan ibu, maka orang tidak menyalami melainkan memberi hormat dengan "Sodja" yakni kedua belah tangan di rangkapkan sebatas dada Ritual ini mengandung filosofi yang sedikit banyak dipengaruhi filosofi Konghucu,

Tangan yang mengepal di depan dada memiliki makna tersendiri. Memberi hormat dengan "Sodja" ini  tidak hanya  dilakukan ketika  perayaan Imlek, melainkan  setiap kali seorang berhadapan dengan orang tua.. Sewaktu memberi sodja, dengan  tubuh agak membungkuk  Secara tradisi, posisi tangan yang tepat ketika melakukan Sodja ialah mengepalkan tangan kanan di depan dada, lalu ditutup  dengan telapak tangan kiri.

Tapi apa yang terjadi sejak belasan tahun belakangan ini adalah sungguh sangat memprihatinkan. Generasi muda mileneal sudah menabrak habis semua tata krama dalam berinteraksi dengan orang tua, bahkan seusia kakeknya. Bahkan tidak jarang sambil menyalami orang tua, si anak sambil cengar cengir menatap ke ponsel di tangannya. Suatu hal yang dimasa lalu tidak pernah terjadi. 

Bahkan tidak jarang  orang tua diperlakukan tak ubahnya bagaikan teman sepermainannya. Apakah karena orang tua tidak lagi mendidik anak anaknya dalam hal tatakrama Ataukah karena apakah ini memang gaya zaman now? Ataukah memang sudah seharusnya terjadi demikian, tentu bukan hak kita untuk memberikan penilaian

Kini semua Orang Tua dipanggil "Om" dan "Tante", termasuk saudara kandung dari pihak ayah dan ibu. Sehingga kita tidak lagi dapat memilah,mana yang Om dan Tante ,karena pertalian kekeluargaan atau hanya sebatas basa basi dalam berkomunikasi saja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun