Kita Bisa Mendidik Anak Untuk Bersimpati ,Tapi Tidak Dapat Memaksa  Untuk Berempati
Di sekolah anak-anak pada umumnya mendapatkan kesempatan untuk belajar ilmu pengetahuan, yang kelak dibutuhkan dalam menghadapi masa depan ketika sudah dewasa. Tetapi anak-anak tidak cukup hanya semata mendapatkan kesempatan untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan, tapi juga membutuhkan pendidikan moral.
Salah satunya adalah mendidik anak anak, agar mampu bersimpati pada orang-orang yang sedang menderita atau mengalami musibah. Agar kelak dalam perjalanan hidupnya, Â mampu memahami penderitaan ataupun kesulitan orang lain.
Ada banyak ulasan tentang arti dan makna tentang :"Simpati" dan "Empati"
Namun perasaan seseorang,tidak dapat dipatok berdasarkan teori tentang makna, karena hati manusia tidak dapat ditakar dan diukur berdasarkan teori. Contoh orang yang tampil berbicara dengan sangat manis dan piawai dalam bertutur kata,belum tentu hatinya, seperti apa yang terdengar dari mulutnya.
Karena itu, biarkanlah masing-masing orang mengekspresikan secara bebas tentang arti dan makna simpati dan empati bagi dirinya. Setidaknya, semua orang sudah memahami bahwa simpati adalah sikap mental yang mampu peduli dan prihatin akan berbagai kejadian yang menimpa orang lain. Namun tidak ikut terlibat dalam kesedihan yang dialami orang lain.
Sedangkan empati bersifat jauh lebih mendalam. Yakni ketika menyaksikan ada orang  yang menderita,maka tidak hanya sekedar ikut prihatin, tapi ikut merasakan kesedihan dan penderitaan yang dialami orang lain. Bahkan merasakan seakan dirinya yang mengalami hal tersebut, sehingga dengan berbagai upaya akan berusaha menolong sesuai kemampuan dirinya.
Anak Kecil Sudah Mampu Berempati
Salah satu kejadian,yang tidak akan pernah terlupakan adalah ketika hidup masih morat marit dan tinggal di Pasar Tanah Kongsi. Tapi agar tidak membosankan, saya tuliskan hanya ringkasan saja. Suatu senja, bu Upik tetangga kami mengetuk pintu warung yang sekaligus jadi tempat tinggal kami.Â
Hujan sedang turun dengan lebat, saya membuka pintu dan ternyata bu Upik yang sedang menggendong anaknya yang lagi sakit dan minta pinjam uang untuk biaya berobat. Kami tidak mampu menjawab, karena yang ada hanya uang untuk modal jualan kelapa.Â
Kalau ini kami pinjamkan besok saya tidak bisa lagi berjualan kelapa. Putra kami Irmansyah Effendi yang ada disana tiba-tiba lari masuk ke kamarnya dan terdengar bunyi sesuatu yang pecah/