Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Guru Kehidupan tentang Arti Memberi

5 Februari 2017   22:10 Diperbarui: 5 Februari 2017   22:16 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disaat saat seperti inilah.nilai nilai luhur yang ada dalam diri kita ditantang ,untuk menentukan sikap. Sebuah ujian hidup,yang menentukan apakah kita lulus sebagai orang yang memiliki martabat diri,atau gagal,dan membatalkan niat memberi,hanya karena tergoda untuk dapat menjualnya.

Ubi Rebus dan Nasi Bungkus,Yang Awet   lebih dari Setengah Abad

Saya pernah menuliskan artikel,tentang sepotong ubi rebus,yang awet selama setengah abad.Tentu  saja,hal ini merupakan sebuah kiasan,bagaimana ,sepotong ubi rebus,yang diberikan  oleh bu Halimah diatas bus ALS ,ketika kondisi saya cukup parah,karena Malaria yang saya derita kambuh diperjalanan Medan menuju ke Padang. Ubi rebus itu,pada saat itu,bagi saya sungguh tidak ternilai.Apalagi diberikan dengan sangat tulus oleh seorang wanita tua, yang hanya mampu membeli dua potong ubi rebus

Bu Halimah ini,berkerudung ,asal Aceh ,campuran Minang,jadi beragama islam,sementara saya sendiri dari etinis Tionghoa dan beragama Katholik.Tapi bu Halimah,tidak memikirkan tentang semuanya itu. Hatinya hanya ingin menolong saya yang sedang tergeletak sakit diatas bus. Inilah  sebuah pemberian yang setulus hati. Dalam hal memberi,maka bagi saya,Bu Halimah adalah Sang Pencerah.Yang mengajarkan kepada saya,tentang arti dan makna berbagi.

Kalaulah orang berbagi ,hanya kepada sanak keluarganya  atau hanya pada teman temannya,maka apalah artinya pemberian kita?

Satu Lagi Contoh


Dalam  perjalanan hidup ,saya pernah selama dua tahun,menjadi pedagang keliling Medan -Padang,seperti yang sudah pernah saya postingkan,beberapa tahun lalu. Suatu waktu ,hujan lebat ,jembatan putus,maka bus berhenti di Masjid.Seluruh penumpang, turun dan numpang berteduh di dalam Masjid,termasuk saya,satu satunya yang non Muslim,ikut berteduh.Bertepatan bulan puasa dan saatnya berbuka puasa.  Saya hanya duduk bersandar di dinding Masjid,karena tidak membawa bekal apapun,sementara  penumpang lainnya,membuka bungkusan  makanan masing masing.,

Tiba tiba saya didekati seseorang,sambil menyapa:" Yuk nak,sudah saatnya berbuka".Saya menjelaskan bahwa saya non Muslim.Tapi orang tua yang bertanya,sama sekali tidak tampak kaget,malah menarik tangan saya dan berkata,:"Kita makan bersama.Bapak sudah tua,tidak sanggup menghabiskan sebungkus nasi ini"

Tanpa kuasa menahan rasa haru,mata saya basah dan saya ikut makan,sebungkus berdua. Ini adalah pelajaran hidup yang kedua bagi saya,bagaimana sesungguhnya hidup berbagi .

Saya tuliskan artikel ini,tentu tidak bermaksud menarik rasa simpati atau apa namanya.Karena saya bukan pejabat,yang mungkin perlu gitu gituan,agar mendapatkan rasa simpati. Tulisan ini,apa adanya,bagaimana saya belajar dari orang kampung,yang hidupnya juga sama sama melarat. Karena dari merekalah kita akan mendapatkan pelajaran hidup yang sejati,Karena Bu Halimah dan Pak H,Muis, adalah Guru  kehidupan yang sesungguhnya. Beliau tidak mengajarkan dengan berdiri dimimbar,tapi mengajarkan ilmu hidup dengan memberikan contoh teladan.Yakni berbagi sepotong ubi rebus dan berbagi nasi sebungkus.

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun