Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Tidak Dapat Membangkitkan Orang yang Sudah Mati

22 Januari 2017   21:21 Diperbarui: 22 Januari 2017   21:53 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa Yang Bagi Kita Tidak Berharga.Mungkin Saja Bagi Orang Lain,Sangat Dibutuhkan

Apa saja yang bagi kita,mungkin merupakan barang yang tidak berguna.Hanya menjadi penghuni rak sepatu atau penghuni lemari pakaian,bisa jadi untuk orang lain,merupakan benda yang sangat di dambakannya. Mengapa saya tahu persis? Seperti yang sudah sering saya ceritakan,karena kami sudah mengalami hidup seperti itu.

  • Dimana pada waktu itu,sandal jepit putus,hanya di sambung dengan gunakan peniti
  • hujan lebat,tidak ada mantel ataupun payung
  • ketika banjir masuk kedalam kedai ,kami kedinginan,tak ada pakaian hangat
  • Ketika putra kami kedinginan dan kejang kejang,tidak ada selimut yang memadai

Dan pada waktu itu,tak ada uluran tangan dari siapapun.Sehingga ,dalam kondisi batuk darah,saya tetap berkerja,untuk dapat membeli sebungkus nasi,yang kami makan bertiga.

Belajar Dari Putra kami
Lumrahnya,orang tua lah yang memberikan contoh teladan kepada anak anak,bagaimana seharusnya bersikap terhadap orang lain,yang sakit dan menderita.Tapi saya harus jujur menceritakannya,bahwa bagi saya dan istri,justru terjadi sesuatu yang tidak lazim. Karena justru kami yang belajar dari putra kami,yang pada waktu itu masih satu orang dan belum genap berusia 6 tahun.Saya tidak berani menuliskan kebohongan,karena setiap tulisan saya ,dibaca oleh anak istri ,mantu dan cucu cucu kami. 


Malam itu hujan turun sangat deras. Saya dan istri ,berserta putra pertama kami yang belum genap berusia 6 tahun, duduk di kedai ,yang sekaligus merangkap tempat tinggal kami. Tidak ada listrik , karena sudah dua minggu aliran listrik diputus petugas, karena kami sudah dua bulan menunggak. Kami hanya ditemani sepotong lilin, sambil menikmati ubi merah rebus, yang masih hangat . Karena hari ini ,sudah tidak punya muka lagi ,untuk utang sebungkus nasi pada Koh San,yang berjualan nasi digerobak,di depan Bioskop Purnama kota Padang.Karena utang sudah menumpuk 3 bungkus nasi rames, saya tidak berani untuk ngutang lagi. Apalagi melihat kondisi Koh San,yang hanya sedikit lebih baik dari pada kehidupan kami. 


Tiba tiba ada ketukan dipintu, yang mungkin lebih tepat dikatakan, ada orang yang mengedor pintu. Mungkin karena hujan deras dan kami tidak mendengarkan ketukan,maka ketukan pada pintu meningkat menjadi gedoran Saya berdiri dan membuka pintu.
Seorang ibu melangkah masuk dengan mengendong seorang anak Bermantelkan selembar plastik bekas.Ternyata bu Upik, tetangga kami,yang biasanya jualan sayur dikaki lima di pasar yang sama dimana kami tinggal.


Sambil duduk dikursi rotan reyok,Bu Upik mengatakan dengan suara memohon. “ Saya mau pinjam uang pak,untuk beli obat.Anak saya demam tinggi. Suami saya sedang kerja malam. Tak ada  uang lagi dirumah. “
Saya dan istri terdiam.Takkuasa  menolak,tapi juga tidak tahu , darimana bisa dapatkan uang. Ada uang untuk modal jualan kelapa,kalau ini kami pinjamkan, berarti besok pagi,kami tidak ada lagi untuk modal jualan. 


Tiba tiba terdengar ada sesuatu yang pecah di dalam. Saya segera berlari kebalik dinding, dimana “kamar” tidur kami berada.diikuti oleh istri saya Begitu masuk,saya bagaikan terpaku,menyaksikan apa yang sedang terjadi. Celengan putra kami yang terbuat dari  tanah liat,sudah pecah brantakan dilantai . Putra kami memegang tempurung kelapa dan didalamnya penuh dengan kepingan uang logam.
Menyodorkannya kepada saya dan berkata lirih:” Papa mama…ini semua uang tabungan saya.. Kita kasih bu Upik ya,, untuk beli obat anaknya,, Kasian pa maa”
Kami berdua tak kuasa menahan air mata dan memeluk putra kami dengan penuh rasa haru… Ya Tuhan,,, ternyata putra kami yang belum genap 6 tahun.. sudah mengajarkan kami, bagaimana sesungguhnya hidup berbagi.. Padahal uang tersebut dikumpulkannya selama berbulan bulan. 


Kini,seluruh  uang yang ada di tempurung ,diserahkan ketangan bu Upik.Begitu terharunya,sehingga tak henti hentinya memeluk dan menciumi putra kami,sambil berucap ” Dalam setiap Sholat, ibu akan selalu ingat namamu “ kata bu Upik sambil memeluk putra kami. 


Kisah ini adalah sudah lama berlalu.Kami bersyukur, keikhlasan untuk berbagi ini, selalu diterapkannya hingga dewasa Dan diikuti oleh kedua adiknya yang baru lahir beberapa tahun kemudian.Sebuah cuplikan biografi kami,yang senantiasa kami syukuri,bahwa ketiga putra putri kami,hingga kini, tidak perlu diajari ,gimana harus hidup berbagi,karena justru,kami sebagai orang tua yang mendapatkan pelajaran berharga dari putra kami,Bahwa untuk membantu orang,tidak harus menunggu dari kelebihan 

Joondalup,. 22 januari,2017


Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun