Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merajut Nasionalisme Melalui Moderasi Beragama

29 September 2020   06:40 Diperbarui: 29 September 2020   06:49 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

James G. Kellas (1998) memaparkan bahwa sebagai sebuah ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai sebuah bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis selalu didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Nasionalisme mendorong terjadinya sentimen dan gerakan.

Ben Anderson (2001), memahami kekuatan dan kontunuitas dari sentimen dan gerakan sebagai cikal bakal mewujudkan identitas nasional. Sebuah bangsa (nation) adalah sebuah konstruksi ideologis yang tampak sebagai bentuk garis antara atau definisi diri kelompok budaya dan state (negara). Keduanya membentuk sebuah komunitas abstrak berdasarkan perbedaan dari negara atau komunitas berdasar kekerabatan yang mendahului pembentukan mereka.

Agak berbeda, Kohn mendefinisikan nasionalisme sebagai suatu 'state of mind an act of cossciousness'. Nasionalisme bagi Kohn, harus dilihat sebagai suatu "history of idea", yang menempatkan ide, pikiran, motif dan kesadaran dalam sebuah keterkaitan dengan lingkungan yang nyata dari sebuah situasi sosial-historis. Nasionalisme bisa pula dipandang social soul atau mental masyarakat yang dibangun dari sejumlah perasaan dan ide-ide yang mendorong masyarakat untuk memiliki perasaan memiliki atau a sense of belonging.

Nasionalisme memiliki tiga aspek yaitu cognitive, value orientation, dan affective. Aspek cognitive merujuk pada adanya pemahaman mengenai situasi atau fenomena, misalnya situasi kolonial. Aspek value orientation menunjukkan keadaan yang dianggap berharga  bagi pelakunya, misalnya cita-cita untuk merdeka, bersatu, keinginan bebas atau perasaan menjadi ratu adil. Sedangkan aspek affective adalah situasi yang diakibatkan dari tindakan kelompok.

Nasionalisme merupakan sebuah konsep gagasan yang bersentuhan dengan kebangsaan dan kenegaraan. Nasionalisme selalu bermuara pada penyebaran kesadaran berbangsa atau keinginan untuk membentuk sebuah negara atau nation state. 

Nasionalisme melahirkan  upaya-upaya yang bertujuan  membentuk bangunan kebangsaan dan negara. Upaya-upaya tersebut tersusun secara terencana dan sistematis untuk menanamkan kesadaran bahwa walaupun mungkin terdiri dari keanekaragaman ras, etnik, agama ataupun budaya, namun yakin bahwa mereka satu bangsa.

Nasionalisme bisa dipandang dari dua sisi, yaitu di satu sisi sebagai sebuah gagasan dan di sisi lain sebagai sebuah kebijakan. Pada sisi gagasan, nasionalime dipandang sebagai perwujudan kesadaran nasional dari anggota-anggota suatu bangsa. Adapun pada sisi kebijakan, nasionalisme dipahami sebagai sebuah strategi politik. 

Bertolak dari sisi gagasan, Ben Anderson menjelaskan konsep nasionalisme yang berkait dengan konsep bangsa. Bangsa, bagi Anderson (2011), adalah sesuatu yang imajiner karena para anggota bangsa tidak harus saling mengenal, namun di benak mereka ada keyakinan bahwa mereka memiliki cita-cita bersama yang harus diwujudkan.

Awal perkembangan nasionalisme di Indonesia adalah kesadaran terhadap situasi ketertindasan yang melahirkan keinginan untuk hidup bebas dan merdeka. Kesadaran tersebut melahirkan gerakan-gerakan, yang uniknya justru bermula dari rasa primordial, baik kesukuan atau kelas sosial (seperti Jong Java, Boedhi Oetama, Jong Islam, Sarekat Islam, Indeche Partay, dll) yang kemudian mengkristal menjadi gerakan yang mengacu pada identitas bangsa. 

Pengkristalan itu memuncak pada saat dicetuskan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Kenyataan sejarah itu menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dari perasaan etnis yang berkembang kepada kesadaran identitas nasional. Kesadaran etnik yang mengubah diri menjadi identitas nasional ini muncul karena adanya beberapa pemikiran pokok  yaitu (1)  pentingnya persatuan dan kesatuan nasional, (2) solidaritas bersama, (3) non koperatif dalam melawan kolonialisme, dan (4) swadaya atau kekuatan sendiri.

Pencapaian identitas nasional mencapai puncaknya pada momentum proklamasi kemerdekaan, yang berarti telah terbentuknnya sebuah negara-bangsa, namun itu bukan berarti nasionalime pupus. Nasionalisme Indonesia bermetamorfosis atau berubah bentuk menjadi tak sekedar menjadi perlawanan terhadap bentuk kolonialisme, namun muncul dalam komitmen untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara untuk memuwujudkan cita-cita kesejahteraan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun