Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Bravo Rossoneri (I): Mengawal Harapan

9 April 2011   03:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:59 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Mencintai AC Milan adalah sebuah ironi. Saya katakan ironi karena pada saat 'pertama kali bertegur sapa', saya juga tengah menjalin romansa yang sangat membara dengan Die Nationalmannschaft. Ya, untuk tingkat antarnegara saya adalah pendukung 'sampai mati' (die hard fan) Der Panzer, tim nasional Jerman (Barat, kala itu). Adakah relepansinya? Hihi... Kompasianers yang mencintai sepakbola sejak era 1980an pasti tahu alasannya, bukan? Milan, i Rossoneri, i Diavolo, memiliki rival sekota, FC Internazionale (Inter Milan), dan kala itu i Nerazzurri diperkuat oleh Andreas Brehme, Lothar Matthaus, dan Jurgen Klinsmann. Merekalah trisula andalan Der Panzer peraih Piala Dunia 1990. Aha! Lha kok bisa memilih Milan to, bukan Inter? Entah mengapa, saya terkagum-kagum dan mengakui kehebatan trio Belanda: Ruud Gullit, Marcel 'Marco' van Basten, dan Franklyn 'Frank' Rijkaard. Karena Belandalah yang menaklukkan Jerman Barat dalam laga semifinal Euro 1988. Saya mengakui keunggulan De Oranje racikan almarhum Marinus Johannes 'Rinus' Michels ini dalam meredam 'staying power' besutan Franz 'der Kaizer' Beckenbauer (yang memang baru 'berlatih' menangani timnas...haha). Oke, dari situlah timbul rasa simpati saya kepada Trio Belanda tersebut.

AC Milan bagi saya adalah sebuah harapan. Ini saya cocokkan dengan komentar Bung Weshley Hutagalung tempo hari ketika menjadi komentator pertandingan Liga Champions di RCTI, "Sepakbola selalu menumbuhkan harapan." Bahkan ketika mereka terpuruk dan terlempar dari 10-besar pada musim 1996/1997, diluluhlantakkan Juventus bersama Christian Vieri-nya di San Siro, dihajar Galatasaray di Ali Sami Yen dan Deportivo La Coruna di Riazor (koran Indonesia memberitakan hasil ini dengan judul "Milan Hancur di Riazor"....aduhh...sedih sekali rasanya waktu itu...huk...), ditaklukkan oleh determinasi Liverpool di Instanbul, hingga tunggang-langgang oleh aksi Setan Merah di Old Trafford...Saya tetap setia mencintai Milan.

Musim 2010/2011 Milanisti se-dunia tumbuh dan berkembang harapannya. Terlebih lagi setelah memenangi dua laga 'Derby della Madonnina' . Angan melayang jauh hingga ke Stadion Friuli (maksimal), akan pesta kemenangan. Meskipun akan lebih menyenangkan jika pesta itu dirayakan di hadapan 'the Lion's Den' ('Fossa dei Leoni). Leonardo, pahlawan kami yang sekarang menyeberang ke Appiano Gentile, bilang bahwa derby kemarin bukanlah penentu 'scudetto' dan saya sepakat dengannya. Namun, setidaknya hasil ini mempermudah jalan menuju ke sana.

Sejujurnya saya kurang senang dengan kebijakan manajemen Milan dalam merekrut sejumlah pemain. Membayangkan kamar ganti dihuni oleh 'bad boys' seperti Ibrahimovic, Cassano, Ronaldinho, dan van Bommel adalah sebuah pekerjaan sulit bagi saya. Tambah lagi, menyusul Kevin Prince Boateng. Asal tahu saja, menjelang Piala Dunia 2010 Afrika Selatan saya sangat marah dengan tindakan KPB atas Michael Ballack (haha....Ballack was 'our captain' you know? haha). Tapi lambat laun saya menyadari bahwa Milan adalah tempat setiap pemain dianggap sebagai keluarga. Dengan pendekatan sedemikian rupa akhirnya sekumpulan anak bengal itu luluh dan menjadi anak manis. Meskipun tidak semulus yang diharapkan (yang penting berusaha..hehe). 'Milan Family' membuktikan mereka adalah sebuah keluarga besar, tempat mengadu dan tempat untuk 'memulai hidup baru' manakala harapan telah sirna oleh datangnya pemain-pemain baru.

Keputusan Silvio Berlusconi untuk 'berhemat' juga saya dukung. Ia konsisten dengan pendapatnya selaku Perdana Menteri Italia ketika berkomentar tentang situasi benua Eropa. 'Kita harus berhemat,' demikian kata Berlusconi. Sikap ini ia contohkan dalam caranya mengelola klub sepakbola. Sebagian pemain diperoleh secara 'gratis' (Anda ingat 'Bosman legislation', bukan?). Toh, mereka masih dapat berfungsi. Capolista hingga giornata ke-31 adalah buktinya.

Pekan ini i Rossoneri akan bertandang ke Artemio Franchi, Firenze. Di sana telah menunggu seorang 'spesial' yang ikut mengantarkan Milan menuju final Athena 2007. Ya, Alberto Gilardino. Menghadapi La Viola bukanlah tugas yang ringan. Pasca-kejayaan Juventus dalam Piala Champions 1985, musuh berat Milan adalah Fiorentina dan Napoli. Saya masih ingat itu. Tentu saja di luar Inter, donk...hehe...Kalau yang ini si, nggak perlu dibicarakan, haha! Saya masih ingat momentum Gabriel Batistuta berselebrasi layaknya seorang yang sedang menembak dengan senapan mesin di San Siro, beberapa tahun yang lalu. Waktu itu Milan kalah. Aroma pembuktian Gilardino, meskipun telah cukup lama di Firenze, tetap mengemuka. Ini menjadikan duel akhir pekan ini semakin menarik.

Baiklah, sampai jumpa pada ulasan 'ngalor-ngidul' [1] berikutnya. Bukannya takabur, mendahului kehendak yang kuasa. Namun optimisme adalah faktor kunci untuk menggenjot semangat. Moral pemain sedang naik dan Firenze meninggalkan memori yang sangat indah bagi Milanisti, dua musim lalu, yakni sebagai stadion terakhir Paolo Maldini bermain di Serie A. Terakhir, tentang Friuli. Stadion kebanggaan kota Udine ini juga memberi kesan mendalam bagi Milan. Jika dan hanya jika penentuan Scudetto 2010/2011 harus ditentukan di kota ini, kami akan selalu ingat gol Andres Guglielminpietro pada musim 1998/1999 lalu.

FORZA MILAN!!

[1] asal-asalan....:-)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun