Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ketika Pertamina Dibilang Malas...

4 Oktober 2025   17:28 Diperbarui: 4 Oktober 2025   17:28 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kilang Terbakar (Kiri) & Menkeu Purbaya (Kanan) (sebalik.com/ihsan)

Di tengah tudingan itu, Pertamina tak tinggal diam. Lewat anak usahanya, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), mereka menegaskan bahwa pembangunan Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan terus berjalan dan sudah mencapai progres 96,5 persen. Artinya, kilang terbesar di Indonesia Timur itu sebentar lagi akan beroperasi penuh.

Kilang Balikpapan bukan proyek kecil. Ia akan menambah kapasitas pengolahan dari 260.000 menjadi 360.000 barel per hari, dengan produk BBM yang memenuhi standar Euro 5, lebih bersih dan ramah lingkungan.

Kilang ini juga akan meningkatkan produksi LPG dari 48.000 menjadi 384.000 ton per tahun, mengurangi impor LPG hingga 4,9 persen.

Bukan hanya angka, tapi juga dampak sosial. Selama masa konstruksi, proyek ini menyerap 24.000 tenaga kerja, menghidupkan ekonomi lokal, dari kontrakan, warung makan, hingga UMKM.

Namun, keberhasilan seperti ini jarang jadi sorotan utama. Publik lebih sering mendengar soal keterlambatan, tudingan "malas", atau konflik politik. Padahal, kilang Balikpapan adalah bukti bahwa sebagian roda industri energi nasional masih berputar dengan serius.

Subsidi dan Impor, Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Dalam konteks lebih luas, kritik Purbaya sebetulnya menyentuh luka lama ekonomi Indonesia, Kita masih sangat bergantung pada impor energi.

Lebih dari separuh konsumsi BBM nasional dipenuhi dari luar negeri. Setiap kali harga minyak dunia naik, APBN pun ikut berdarah. Pemerintah terpaksa menambah subsidi agar harga di SPBU tetap stabil, dan rakyat tidak terlalu terbebani.

Masalahnya, subsidi ini sering kali menyembunyikan akar persoalan, kurangnya kapasitas pengolahan dalam negeri. Indonesia sebenarnya punya minyak mentah, tapi banyak dari jenisnya tidak cocok diolah di kilang yang sudah tua. Maka, BBM yang siap pakai tetap harus diimpor dari Singapura atau Malaysia.

Purbaya benar bahwa setiap tahun negara kehilangan miliaran dolar untuk impor energi. Tapi menyalahkan satu perusahaan, apalagi dengan kata "malas", bisa menimbulkan kesan simplistik terhadap masalah yang sangat kompleks.

Kebijakan, Ego, dan Komunikasi Publik

Masalah terbesar dalam polemik ini mungkin bukan di teknis, melainkan di cara pejabat berkomunikasi. Dalam era digital, setiap kalimat bisa jadi headline, setiap ucapan bisa jadi bahan olok-olok, dan setiap nada sinis bisa menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Pertamina, bagaimanapun, adalah BUMN strategis. Ketika pejabat tinggi menyebutnya malas, kepercayaan publik bisa terguncang, bukan hanya terhadap perusahaan, tapi juga terhadap kompetensi pemerintah sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun