Tapi, beda tipis antara whistleblower dan kriminal. Whistleblower biasanya membocorkan data demi kepentingan publik (misalnya Edward Snowden soal penyadapan NSA di Amerika). Sementara Bjorka, dalam kasus WFT, lebih condong ke arah pemerasan dan jual beli data.
Jadi, meskipun ada aura "pahlawan digital", faktanya tindakan WFT merugikan jutaan orang. Dari sudut pandang hukum, jelas ia adalah pelaku kejahatan siber.
Hukuman yang Menanti
Polisi menjerat WFT dengan pasal berlapis:
- Pasal 46 jo Pasal 30 UU ITE dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda Rp12 miliar.
- Pasal 48 jo Pasal 32 UU ITE.
- Pasal 65 jo Pasal 67 UU PDP dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Kalau semua dijumlah, hidupnya bisa habis di balik jeruji besi.
Pelajaran untuk Kita Semua
Kasus Bjorka memberikan banyak pelajaran, Jangan sepelekan keamanan data. Gunakan password kuat, jangan sembarangan isi data di situs yang mencurigakan.
Waspadai rekam jejak digital. Apa pun yang kita lakukan di internet, sekecil apa pun, selalu meninggalkan jejak.
Bedakan antara hacker etis dan kriminal. Ada orang yang jadi "white hat hacker" untuk menguji keamanan sistem, tapi ada juga yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi.
Dorong pemerintah lebih serius soal keamanan siber. Kasus ini membuktikan bahwa kebocoran data di Indonesia bukan isapan jempol.
Dunia Maya Tak Pernah Benar-Benar Anonim
Pada akhirnya, kasus Bjorka menunjukkan satu hal penting, di internet, semua orang bisa jadi siapa saja, tapi tidak ada yang benar-benar tak terlihat.
WFT mungkin merasa aman dengan berbagai nama samaran, akun kripto, hingga dark web. Tapi jejak digital tetap berbicara. Dan ketika polisi berhasil mengumpulkannya, tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.