Pagi hari di sekolah dasar. Anak-anak duduk rapi di kelas, lalu bel tanda istirahat berbunyi. Mereka berlari ke kantin sekolah karena ada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang dijalankan pemerintah. Menu hari ini? Lagi-lagi nasi putih, ayam goreng, sambal, dan sedikit sayur tumis. Anak-anak lahap memakannya, tapi ada satu hal yang menggelitik, apakah Indonesia yang kaya raya dengan pangan lokal hanya bisa memberi menu seragam seperti itu?
Padahal, kalau kita mau jujur, negeri ini ibarat supermarket raksasa. Ada jagung di NTT, sagu di Papua, singkong di Jawa, hingga ubi di Maluku. Belum lagi ikan melimpah dari laut kita, sayuran segar di pegunungan, dan rempah-rempah yang membuat dunia dulu berlayar ribuan mil hanya untuk mencarinya. Pertanyaannya, kenapa program makan gratis untuk anak sekolah masih sering terjebak pada menu yang "itu-itu saja"?
Nah, di sinilah pentingnya membicarakan pangan lokal sebagai bintang utama di program MBG. Karena bukan cuma soal kenyang, tapi juga soal identitas, kesehatan, keberlanjutan, dan kebanggaan kita sebagai bangsa.
Pangan lokal penting untuk program MBG, bukan sekadar kenyang tapi juga identitas, gizi seimbang, dan dukungan bagi petani daerah. - Tiyarman Gulo
Kenapa Pangan Lokal Penting untuk MBG?
Ahli gizi dr. Tan Shot Yen dalam sebuah audiensi dengan DPR menegaskan,Â
"Saya ingin anak Papua bisa makan ikan kuah asam. Saya ingin anak Sulawesi bisa makan kapurung."Â
Menurut beliau, seharusnya 80% isi menu MBG berasal dari pangan lokal khas daerah.
Ada beberapa alasan kuat kenapa ini penting,
- Nasi bukan satu-satunya sumber karbohidrat. Jagung, ubi, sagu, singkong, semuanya bisa jadi energi anak-anak. Bahkan beberapa lebih tinggi serat dan indeks glikemiknya lebih rendah daripada nasi.
- Anak-anak akan lebih mudah menerima makanan yang sudah familiar di rumah. Misalnya, anak NTT terbiasa makan jagung bose, sementara anak Minahasa akrab dengan tinutuan (bubur Manado).
- Kalau bahan makanan MBG dibeli dari petani sekitar, otomatis ekonomi daerah ikut bergerak. Tidak semua bahan harus "import Jawa" ke Papua, atau sebaliknya.
- Indonesia sering galau ketika harga beras naik. Padahal, kalau lebih beragam dalam konsumsi karbohidrat, gejolak itu bisa lebih terkendali.
Contoh Menu Pangan Lokal yang Bisa Jadi Inspirasi MBG
Nah, mari kita jalan-jalan sejenak ke berbagai daerah, membayangkan seperti apa makanan lokal yang bisa jadi menu makan bergizi gratis.
- Papua & Maluku, Papeda dengan ikan kuah kuning atau ikan kuah asam. Kaya protein, bergizi, dan khas banget.
- Sulawesi Selatan, Kapurung, makanan dari sagu yang disajikan dengan kuah sayur dan ikan. Sehat, segar, dan kaya serat.
- Sulawesi Utara, Tinutuan atau bubur Manado, berisi campuran sayuran, labu, jagung, dan ubi. Cocok untuk sarapan sehat anak.
- Sumatera Barat, Lontong sayur atau gulai nangka muda yang kaya rasa dan sayuran.
- Sumatera Utara, Nasi jagung atau ubi rebus yang bisa dipadukan dengan ikan teri sambal hijau.
- Jawa Timur, Nasi pecel dengan sayuran rebus dan sambal kacang, kaya serat dan protein nabati.
- Jawa Tengah, Sego jagung (nasi jagung) lengkap dengan urap sayur.
- NTT (Timor), Jagung bose, makanan khas berbahan jagung yang dimasak dengan kacang-kacangan.
- Bali, Tipat cantok, mirip gado-gado, berbahan ketupat dengan sayuran dan sambal kacang.
- Kalimantan, Juhu singkah, sayur rotan muda khas Dayak yang unik sekaligus sehat.
Bayangkan jika anak-anak di setiap daerah bisa menikmati makanan khasnya sendiri, bukan hanya sekadar nasi dan ayam goreng standar. Itu bukan cuma soal perut kenyang, tapi juga identitas yang terjaga.
Tantangan dalam Penerapan Pangan Lokal untuk MBG
Tentu saja, tidak mudah menerapkan ide ini. Ada beberapa tantangan nyata,
- Anak yang terbiasa makan nasi mungkin akan menolak papeda atau jagung bose. Butuh waktu untuk membiasakan.
- Tidak semua daerah punya akses mudah ke bahan pangan tertentu. Kadang biaya distribusinya lebih mahal.
- Anak-anak sering pilih-pilih makanan. Kalau rasanya tidak enak, mereka bisa ogah makan.
- Meski makanan lokal sehat, tetap perlu dihitung kandungan gizi dan porsinya. Jangan sampai kurang seimbang.
Solusi, Bagaimana Anak Bisa Suka Pangan Lokal?
Nah, ini bagian yang seru. Kalau kita ingin anak-anak terbiasa dengan makanan lokal, ada beberapa strategi,
- Guru bisa menceritakan asal-usul makanan lokal sambil menyajikannya. Misalnya, cerita tentang bagaimana sagu jadi makanan pokok orang Papua.
- Jangan monoton. Bisa dibuat jadwal, Senin jagung, Selasa nasi, Rabu singkong, Kamis sagu, Jumat ubi.
- Ajak ibu-ibu PKK atau warung lokal untuk mengolah makanan khas daerah. Jadi ada rasa "rumahan" yang lebih disukai anak.
- Kalau rasa asli terlalu kuat (misalnya asam atau pedas), bisa dibuat versi lebih ringan agar anak mudah menerima.
- Kalau di rumah anak juga dikenalkan dengan pangan lokal, di sekolah mereka tidak akan kaget.
Saatnya Pangan Lokal Jadi Bintang
Indonesia itu ibarat lumbung dunia, tapi sering kali kita tidak percaya diri dengan kekayaan sendiri. Program Makan Bergizi Gratis jangan hanya jadi proyek memberi makan murah dan cepat. Harus ada visi, membangun generasi sehat dengan identitas budaya yang kuat.
Bayangkan 10 tahun ke depan, anak-anak kita tumbuh bukan hanya sehat fisiknya, tapi juga punya kebanggaan karena mereka besar dengan pangan khas daerah sendiri. Dari papeda di Papua, kapurung di Sulawesi, sampai pecel di Jawa, semua punya cerita, semua punya rasa, semua punya gizi.
MBG seharusnya bukan sekadar singkatan Makan Bergizi Gratis, tapi juga bisa kita artikan sebagai Merawat Budaya Generasi. Karena lewat makanan, kita tidak hanya memberi energi, tapi juga menanamkan identitas dan cinta pada tanah air.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI