Betapa sering pejabat kita pamer mobil mewah, jam tangan mahal, atau bahkan gaya hidup glamor, tapi nyaris tak pernah ada yang dengan bangga memperlihatkan buku apa yang sedang mereka baca?
Padahal, dari sebuah buku bisa lahir gagasan besar. Dari bacaan yang tekun, seseorang bisa melahirkan visi, empati, dan arah hidup yang jelas. Lalu kita bertanya-tanya, kalau pejabat kita jarang membaca, bagaimana mereka bisa menghasilkan kebijakan yang matang, menyentuh akar masalah, dan berpihak pada rakyat?
Pertanyaan sederhana ini justru menggelitik nurani, seberapa dekat sebenarnya pejabat kita dengan buku?
Pejabat perlu membaca buku agar bijak, berempati, dan melahirkan kebijakan berkualitas yang berpihak pada rakyat serta membangun budaya literasi. - Tiyarman Gulo
Buku Itu Bukan Sekadar Hobi, Tapi Kompas Hidup!
Membaca buku sering dianggap sebagai kegiatan santai, hobi pengisi waktu luang, atau bahkan aktivitas elitis yang hanya dilakukan kalangan akademisi. Padahal, membaca buku jauh lebih dari itu. Ia adalah kompas hidup.
Bayangkan seorang pejabat yang setiap hari hanya mengandalkan laporan staf, potongan berita, atau briefing singkat sebelum rapat. Informasi yang masuk ke kepalanya sudah tersaring, kadang hanya permukaan, bahkan sering penuh kepentingan. Tanpa buku, tanpa literasi, pejabat akan terjebak pada kebijakan instan, cepat diputuskan, tapi dangkal.
Sementara buku memberi ruang untuk,
Merenung lebih dalam, tidak sekadar melihat angka statistik.
Memahami sejarah, agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Menumbuhkan empati, karena literatur fiksi maupun biografi bisa membuka mata terhadap kehidupan orang lain.
Membangun visi jangka panjang, karena buku menuntut kesabaran, sesuatu yang jarang dimiliki politik instan.
Bukankah ini kualitas yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin?