Kamu sedang di jalan raya. Hari Senin pagi, panas terik, macet sudah mengular panjang. Motor dan mobil berjejer rapat, klakson bersahut-sahutan. Di tengah rasa lelah, tiba-tiba terdengar suara "tot tot... wuk wuk wuk!" dari belakang. Sirene meraung, lampu strobo biru-merah menyalak, seolah berkata, "Minggir! Ada yang lebih penting daripada kamu!"
Mobil-mobil pun terpaksa membuka jalan, meski sempit. Ada yang kesal, ada yang mendengus, ada pula yang hanya bisa pasrah. Dan dalam hitungan detik, sebuah iring-iringan mobil pejabat lewat, melesat dengan wajah serius di balik kaca gelap. Pertanyaan pun muncul, kenapa mereka boleh cepat, sementara kita harus sabar terjebak macet?
Fenomena sirene yang kini populer dengan istilah "tot tot wuk wuk" bukan hanya soal suara bising di jalan. Ia telah menjadi simbol ketimpangan yang dirasakan masyarakat, pejabat merasa berhak mendapatkan prioritas, sementara rakyat dianggap hanya penghalang.
Fenomena "tot tot wuk wuk" jadi simbol ketidakadilan di jalan, kritik publik makin kuat, DPR minta sirene pejabat dibatasi hanya untuk darurat. - Tiyarman Gulo
Dari Meme Jadi Gerakan Sosial
Istilah "tot tot wuk wuk" awalnya muncul dari candaan netizen yang menirukan suara sirene pengawalan. Lucu memang, tapi di balik humor itu ada keresahan nyata. Media sosial dipenuhi meme, poster digital, hingga stiker kendaraan bertuliskan "Stop Tot Tot Wuk Wuk".
Gerakan ini lahir spontan, berangkat dari pengalaman banyak orang yang kesal saat jalanannya harus dikorbankan demi pejabat lewat. Apalagi, seringkali sirene dipakai bukan untuk keadaan darurat, tapi hanya agar pejabat tidak telat rapat atau acara seremoni.
Bahkan, ada mobil pribadi berpelat sipil yang nekat memasang strobo dan sirene. Entah merasa keren, entah ingin ikut-ikutan dapat prioritas. Padahal jelas-jelas itu pelanggaran hukum.
Kritik dari Gedung DPR
Menariknya, keresahan publik ini bukan hanya didiskusikan di warung kopi atau medsos, tapi juga sampai ke Senayan. Soedeson Tandra, Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar, secara tegas mendukung gerakan "Stop Tot Tot Wuk Wuk".
"Pertanyaannya, apakah pejabat perlu cepat, lalu masyarakat tidak? Kalau ingin cepat, ya berangkat lebih awal. Jangan, 'wuk wuk wuk' begitu," ujarnya kepada wartawan.
Pernyataan ini mewakili suara banyak orang, kalau semua sama-sama sibuk, kenapa hanya pejabat yang diberi jalan istimewa? Bukankah prinsip kesetaraan seharusnya berlaku juga di jalan raya?
Soedeson bahkan menegaskan, penggunaan sirene dan strobo bukan hanya soal etika, tapi juga berbahaya. Manuver zig-zag pengawal di jalan bisa memicu kecelakaan. Lebih jauh lagi, hal itu melukai perasaan rakyat yang sudah lelah dengan banyaknya privilese pejabat.