Sebidang tanah dan bangunan yang sejak awal jelas-jelas milik negara, tercatat rapi sebagai aset perusahaan pelat merah sebesar PT Kereta Api Indonesia (KAI). Tanah itu mestinya dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Tapi siapa sangka, tanah itu malah diam-diam dikuasai seorang individu, bahkan disewakan ke pihak lain tanpa seizin pemilik sahnya. Bukan sehari dua hari, tapi 15 tahun lamanya!
Kasus ini nyata, bukan cerita fiksi. Kejaksaan Negeri Surabaya baru saja menetapkan seseorang berinisial ES sebagai tersangka penyalahgunaan aset tanah dan bangunan milik PT KAI Daop 8 Surabaya. Kerugian negara? Jangan kaget, Rp4,7 miliar lebih.
Bagaimana bisa seseorang menguasai aset negara begitu lama tanpa izin? Mari kita telusuri kisahnya.
ES 15 tahun kuasai aset PT KAI Surabaya tanpa izin, disewakan ke pihak ketiga, rugikan negara Rp4,7 miliar, kini ditetapkan tersangka. - Tiyarman Gulo
Awal Mula
Kisah ini bermula jauh ke belakang, tahun 1963. Saat itu, seorang pegawai perusahaan kereta api bernama Zainudin Kamil menyewa sebuah tanah dan bangunan milik PT KAI di Jalan Pacar Keling 11, Surabaya. Semua legal. Ada kontrak sewa, ada aturan yang mengikat.
Tapi perjalanan hidup tidak selalu panjang. Tahun 2006, Zainudin meninggal dunia. Sementara kontrak sewa resmi dengan PT KAI masih berjalan hingga 30 November 2010. Nah, di sinilah cerita mulai berbelok.
Seharusnya, ketika kontrak berakhir, ahli waris wajib mengembalikan aset kepada pemilik sahnya, dalam hal ini PT KAI. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Dari Ahli Waris Jadi Penguasa Aset
Setelah Zainudin wafat, muncullah ES, salah satu ahli waris yang kemudian menempati tanah dan bangunan itu. Tapi alih-alih memperpanjang kontrak sewa dengan PT KAI, ES justru diam-diam melanjutkan penguasaan lahan tanpa dasar hukum.
Bisa dibayangkan? Kontrak resmi sudah berakhir, tapi tanah tetap diduduki. Seolah-olah lahan itu sudah berpindah jadi milik keluarga. Padahal jelas, tanah tersebut tercatat sebagai aset PT KAI dengan nomor 033908.60131/SGU/RD.
Yang bikin makin menggelengkan kepala, ES tidak hanya menempati, tapi juga menyewakan tanah itu kepada pihak ketiga! Artinya, dia bukan hanya menggunakan tanpa hak, tapi juga menjadikannya sumber cuan pribadi.
Kenapa Harus Ada Izin PT KAI?
Banyak orang mungkin berpikir "Ah, paling cuma tanah kosong atau rumah tua. Kenapa ribut?"
Nah, di sinilah letak masalahnya. Setiap aset PT KAI, sekecil apa pun, adalah bagian dari kekayaan negara. Kalau disewakan secara resmi, PT KAI mendapat pemasukan. Uang itu masuk ke kas perusahaan, lalu jadi dividen untuk negara. Dari situ, negara bisa membiayai pembangunan, memperbaiki layanan publik, dan seterusnya.
Jadi, ketika ES menyewakan tanah itu tanpa izin, uang yang seharusnya masuk ke kas negara malah masuk ke kantong pribadi. Inilah yang membuat kasus ini bukan sekadar masalah sepele, tapi sudah masuk ke ranah korupsi.
Surat Panggilan yang Diabaikan
PT KAI tentu tidak tinggal diam. Manajemen Daop 8 Surabaya sudah berusaha menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik. Mereka melayangkan surat pemanggilan kepada ES, setidaknya tiga kali.
26 November 2024.
3 Desember 2024.
10 Desember 2024.
Tapi apa respons ES? Tidak ada.
Bahkan lebih parah, alih-alih menyerahkan kembali aset, ES justru melawan dengan cara menggugat perdata. Seakan-akan tanah itu memang miliknya, padahal jelas-jelas bukan.
Akhirnya Tersangka
Karena tidak ada iktikad baik dari ES, akhirnya PT KAI melaporkan kasus ini. Penyidik bergerak, dan Kejaksaan Negeri Surabaya menetapkan ES sebagai tersangka.
Dasar hukumnya cukup berat.
Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Kerugian negara yang ditimbulkan? Rp4.779.800.000.
Lebih dari Sekadar Kasus Tanah
Kalau kita lihat sepintas, ini mungkin "hanya kasus rebutan tanah." Tapi kalau ditarik lebih jauh, masalah ini menyentuh inti persoalan korupsi di Indonesia: penyalahgunaan aset negara oleh individu yang merasa berhak padahal tidak.
Kasus ES ini jadi pengingat bahwa aset negara bukan warisan keluarga, melainkan milik rakyat. Dan siapapun yang mencoba "menguasai" tanpa izin, sama saja merampok uang publik.
Peringatan untuk Kita Semua
Deputy Daop 8 Surabaya, Zuhril Alim, memberi pesan yang penting untuk dicatat.
"Sekali lagi tujuannya adalah bagaimana pengelolaan aset negara yang dikuasakan kepada PT KAI pengelolaan ini bisa dilakukan dengan optimal dan tidak melanggar dari aturan-aturan yang berlaku."
Artinya, kasus ini tidak boleh dianggap sebagai urusan PT KAI semata. Masyarakat juga harus sadar bahwa setiap aset negara, sekecil apapun, punya aturan pemanfaatan.
Kenapa Kasus Begini Terus Terjadi?
Kalau dipikir-pikir, ini bukan kali pertama kasus penyalahgunaan aset negara mencuat. Pertanyaannya, kenapa pola ini berulang?
Beberapa jawabannya mungkin.
Kurangnya kesadaran masyarakat bahwa aset negara tidak bisa diwariskan.
Lemahnya pengawasan sehingga oknum bisa menempati lahan bertahun-tahun.
Adanya rasa "punya" karena sudah lama menempati, padahal status hukumnya jelas berbeda.
Kasus ES ini jadi contoh nyata bagaimana ketidakjujuran kecil bisa berkembang jadi kejahatan besar. Awalnya mungkin hanya tinggal tanpa kontrak, lalu berkembang jadi bisnis pribadi yang merugikan negara miliaran rupiah.
Jangan Anggap Remeh Aset Negara
Kisah ini seharusnya membuat kita semua berpikir ulang. Kadang orang beranggapan, "Ah, cuma satu rumah, cuma satu tanah, nggak bakal ngaruh." Padahal, kalau kasus begini dibiarkan, negara bisa kehilangan triliunan rupiah dari berbagai aset yang disalahgunakan.
Jadi, kalau kamu atau keluarga menggunakan lahan milik PT KAI, atau aset negara lainnya, taatilah aturan sewa dan pemanfaatannya. Jangan sampai niat menempati malah berubah jadi jeratan hukum.
Karena pada akhirnya, aset negara bukan milik individu. Itu milik kita semua, milik rakyat. Dan siapa pun yang mencoba menguasai secara ilegal, berarti dia sedang merampas hak orang banyak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI