Seorang pria di atas panggung megah, berbicara penuh semangat di depan ribuan orang. Dengan setelan jas mahal dan senyum meyakinkan, ia membagikan resep sukses, mengobarkan api semangat bisnis, dan memamerkan gaya hidup mewah sebagai bukti nyata dari ajarannya. Foto-fotonya bersama tokoh-tokoh penting negeri ini bertebaran di media sosial, membangun citra sebagai sosok panutan, seorang pengusaha dan motivator ulung.
Pria itu bernama Dwi Hartono.
Sekarang, buang jauh-jauh gambaran itu. Bayangkan pria yang sama, kini duduk di ruang interogasi yang dingin, wajahnya terpampang di berita dengan stempel "TERSANGKA OTAK PEMBUNUHAN". Gemerlap panggung motivasi kini berganti dengan suramnya sel tahanan. Senyum meyakinkan itu kini menjadi pusat dari sebuah teka-teki mengerikan yang menyeret nama salah satu bank terbesar di Indonesia.
Selamat datang di kisah nyata yang lebih kelam dari film thriller manapun. Ini adalah cerita tentang Mohamad Ilham Pradipta, seorang Kepala Cabang Pembantu BRI yang hidupnya direnggut paksa, dan bagaimana kematiannya mungkin menjadi kunci untuk membongkar sebuah konspirasi busuk yang tersembunyi di balik angka-angka dan transaksi perbankan.
Kasus pembunuhan manajer BRI yang didalangi seorang motivator. Motifnya diduga untuk menutupi skandal fraud besar di internal bank tersebut. - Tiyarman Gulo
Bukan Sekadar Kriminalitas Biasa
Semua bermula dari sebuah berita duka. Mohamad Ilham Pradipta, seorang manajer bank yang berdedikasi, ditemukan tewas. Awalnya, publik mungkin mengira ini adalah kasus perampokan yang berakhir tragis atau sekadar tindak kriminal biasa yang marak terjadi di kota besar. Namun, intuisi para penyidik di kepolisian berkata lain. Ada yang aneh. Terlalu rapi, terlalu terencana.
AKBP Resa Fiardi Marasabessy, yang memimpin penyelidikan, sejak awal sudah memberikan sinyal bahwa kasus ini berbeda.Â
"Ada pembagian peran, koordinasi matang, dan upaya menghilangkan jejak. Ini bukan sekadar kriminalitas biasa," tegasnya.
Pernyataan itu bukan gertakan sambal. Tak lama, polisi bergerak cepat dalam sebuah operasi senyap yang jaringnya tersebar di beberapa kota. Satu per satu, delapan orang berhasil diringkus. Penangkapan yang dilakukan di lokasi-lokasi berbeda, mulai dari hiruk pikuk Bandara Labuan Bajo, ketenangan kota Solo, hingga sudut ramai Jakarta Utara, menggambarkan betapa terstrukturnya jaringan ini.
Polisi membaginya menjadi dua kelompok. Empat orang adalah "otot" alias eksekutor lapangan, tangan-tangan yang menjalankan perintah kotor. Sementara empat lainnya adalah "otak", para aktor intelektual yang merancang skenario maut ini dari balik layar. Dan di antara empat nama dalang itu, satu nama membuat publik terperangah, Dwi Hartono.
Siapakah Dwi Hartono?
Bagi sebagian kalangan, nama Dwi Hartono adalah simbol kesuksesan. Ia adalah wajah yang sering Anda lihat di seminar-seminar bisnis, seorang pengusaha flamboyan yang tak segan membagikan kunci-kunci kekayaannya. Portofolio digitalnya penuh dengan foto-foto inspiratif, kutipan-kutipan motivasi, dan jejak pergaulannya dengan elite nasional. Ia membangun sebuah benteng citra yang begitu kokoh sebagai seorang visioner yang patut diteladani.
Maka, bisa dibayangkan betapa gemparnya publik ketika polisi mengumumkan bahwa sang motivator ini adalah tersangka dalang utama di balik pembunuhan berencana. Ini adalah sebuah plot twist yang bahkan penulis skenario paling liar pun akan berpikir dua kali untuk menuliskannya. Kontrasnya begitu menyakitkan. Seorang yang mengajarkan cara membangun kehidupan, kini dituduh merancang cara untuk mengakhirinya.
Seketika, linimasa media sosial yang dulu memujanya kini dipenuhi dengan tanda tanya dan cemoohan. Foto-fotonya bersama para pejabat menjadi perbincangan. Setiap video motivasinya diputar ulang dengan kacamata yang berbeda, mencari jejak kebohongan di balik setiap kata-katanya. Fasad gemerlap itu runtuh dalam sekejap, menampakkan fondasi yang diduga dibangun di atas kejahatan.
Mengendus Motif
Pertanyaan terbesar pun muncul: Mengapa? Mengapa seorang pengusaha sukses seperti Dwi Hartono mau mengambil risiko sebesar ini? Apa yang bisa mendorongnya untuk mendalangi sebuah pembunuhan?
Direktur Utama BRI, Hery Gunardi, dalam sebuah rapat resmi dengan DPR, memberikan pernyataan yang sangat hati-hati.Â
"Aparat sedang mendalami apakah motifnya terkait penagihan kredit, persoalan pribadi, atau hal lain yang lebih serius," ujarnya.Â
Sebuah jawaban normatif yang membuka semua kemungkinan, namun belum menunjuk hidung siapapun.
Namun, di lorong-lorong sunyi gedung perkantoran, beredar bisikan yang jauh lebih mengerikan. Sebuah sumber internal yang memilih bungkam identitasnya membocorkan informasi krusial. Menurutnya, tragedi yang menimpa Ilham Pradipta bukanlah soal utang-piutang biasa. Ini soal sesuatu yang jauh lebih fundamental dan berbahaya. Ilham diduga mengetahui terlalu banyak.
Terlalu banyak tentang apa? Tentang praktik fraud.
Bagi kita orang awam, fraud internal di bank terdengar seperti istilah teknis yang rumit. Mari kita sederhanakan. Bayangkan ada "tikus" di dalam lumbung padi. Tikus ini tidak mencuri sekarung padi secara terang-terangan. Ia melakukannya dengan cara licik. Memanipulasi catatan stok, membuat laporan palsu, atau menggali terowongan rahasia untuk mengalirkan padi sedikit demi sedikit hingga tak ada yang sadar.
Dalam konteks perbankan, fraud bisa berarti manipulasi data nasabah, menciptakan kredit fiktif, atau mengalirkan dana secara tidak wajar ke rekening-rekening tertentu. Ini adalah kejahatan kerah putih yang senyap, tidak ada darah, namun bisa merugikan miliaran bahkan triliunan rupiah.
Di sinilah peran Ilham menjadi vital. Skenario paling mengerikan yang kini didalami polisi adalah Ilham, dalam kapasitasnya sebagai manajer, tanpa sengaja atau mungkin sengaja, menemukan jejak-jejak "tikus" ini. Ia mencium bau anyir dari transaksi yang tidak wajar. Ia melihat angka-angka yang tidak masuk akal.
Dalam skenario ini, Ilham bukan lagi sekadar manajer bank. Ia telah berubah menjadi seorang saksi kunci yang memegang korek api di dekat gudang bensin. Keberadaannya adalah ancaman. Pengetahuannya adalah bom waktu. Dan bagi para pelaku fraud, hanya ada satu cara untuk meredam bom waktu tersebut: melenyapkan pemegangnya.
Bagaimana Operasi Maut Ini Dijalankan?
Jika motifnya adalah untuk membungkam seorang saksi kunci, maka tingkat perencanaannya pun harus sempurna. Dan inilah yang ditemukan oleh polisi. Pembunuhan Ilham bukanlah hasil dari emosi sesaat. Ini adalah sebuah proyek, sebuah operasi terencana dengan struktur komando yang jelas.
Empat aktor intelektual, termasuk Dwi Hartono, diduga berperan sebagai dewan direksi kejahatan. Mereka yang merancang, mereka yang memberi perintah, dan mereka yang menyediakan dana. Sementara empat eksekutor lapangan bertindak sebagai tim eksekusi. Mereka mungkin tidak tahu gambaran besarnya. Mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan, mungkin dengan iming-iming uang yang bagi mereka besar, namun bagi para dalang hanyalah "biaya operasional" untuk menutupi kejahatan yang jauh lebih masif.
Fakta bahwa mereka ditangkap di berbagai penjuru negeri menunjukkan seberapa besar upaya mereka untuk menyebar dan menghilangkan jejak setelah operasi berhasil. Mereka pikir, dengan berpencar, mereka akan aman. Namun, mereka salah perhitungan. Mereka meremehkan kegigihan aparat yang sejak awal sudah tahu bahwa ini bukanlah kasus biasa.
Pelajaran Pahit
Kasus pembunuhan Mohamad Ilham Pradipta telah bertransformasi dari sebuah berita kriminal menjadi sebuah jendela buram untuk mengintip dunia kelam kejahatan kerah putih. Ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa di balik gedung-gedung tinggi, jas-jas mahal, dan seminar-seminar motivasi, bisa bersemayam keserakahan yang tak kenal batas, keserakahan yang rela menukar nyawa manusia demi menutupi jejak kejahatan finansial.
Kini, pertanyaan-pertanyaan besar masih menggantung di udara, menunggu untuk dijawab di ruang pengadilan. Seberapa dalam sebenarnya "lubang kelinci" fraud yang coba ditutupi ini? Apakah Dwi Hartono bertindak sendiri, atau ia hanya satu bagian dari jaringan yang lebih besar di dalam tubuh bank itu sendiri? Apakah kasus ini hanyalah puncak dari sebuah gunung es?
Satu hal yang pasti, kisah tragis ini memberikan kita pelajaran pahit tentang betapa menipunya sebuah citra. Di era di mana kesuksesan sering diukur dari apa yang tampak di permukaan, kasus ini membuktikan bahwa topeng paling gemerlap sekalipun bisa menyembunyikan wajah yang paling mengerikan. Dan di tengah semua ini, kita berutang pada mendiang Mohamad Ilham Pradipta untuk memastikan bahwa kebenaran, seburuk apapun itu, akhirnya akan terungkap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI