Sebuah grand opening. Lampu sorot menyilaukan, karpet merah tergelar, puluhan kamera wartawan berkedip tanpa henti. Seorang artis papan atas tersenyum, menggunting pita, dan meresmikan bisnis kulinernya. Antrean mengular, media sosial meledak, dan dalam semalam, tempat itu menjadi buah bibir. Terlihat seperti resep kesuksesan yang dijamin berhasil, bukan?
Sekarang, pemandangan lain beberapa tahun kemudian. Tempat yang sama, namun kini sunyi. Pintu kaca yang dulu ramai kini berdebu, dengan secarik kertas bertuliskan "TUTUP" atau "DISEWAKAN" menempel samar. Kemana perginya semua kemewahan itu?
Selamat datang di "kuburan" bisnis kuliner para artis. Ini bukan cerita untuk menertawakan kegagalan, melainkan sebuah tur investigasi yang mahal harganya. Di sini, kita akan membedah nisan dari bisnis-bisnis yang pernah berjaya, untuk menemukan satu kebenaran universal. Popularitas bisa membeli perhatian, tapi ia tak akan pernah bisa membeli kesetiaan pelanggan jika fondasi bisnisnya rapuh.
Mari kita mulai perjalanan kita.
Kisah bisnis kuliner artis yang tutup (Raffi, Ayu Ting Ting) membuktikan popularitas bukan jaminan. Kualitas & strategi bisnis adalah kunci utama. - Tiyarman Gulo
Gelembung "Kue Kekinian" yang Akhirnya Pecah
Ingatkah Anda era 2017-2020? Sebuah fenomena melanda Indonesia "bisnis kue artis." Hampir setiap selebriti, dari penyanyi dangdut hingga aktor film, tiba-tiba menjadi seorang baker. Mereka yang berhasil menunggangi gelombang ini pada awalnya adalah,
Ayu Ting Ting (Kuenya Ayu) Meramaikan pasar dengan kue kekinian yang manis.
Nagita Slavina (Gigieat Cake) Menciptakan viralitas dengan antrean panjang dan promosi masif.
Syahrini (Princess Cake) Menjual kemewahan dan citra "princess" dalam sekotak kue.
Ashanty (Lu'miere) Tumbuh pesat dengan 15 gerai dan produk andalan seperti lava cake.
Mereka semua merasakan manisnya kesuksesan di awal. Penggemar berbondong-bondong membeli bukan hanya karena rasa, tapi karena nama besar di balik merek tersebut.
Lalu, mengapa mereka semua akhirnya tumbang?