Berapa harga sebuah kata "maaf" di zaman sekarang? Dulu, kata itu adalah jembatan untuk memperbaiki hubungan, penanda kerendahan hati, dan lem perekat sosial. Tapi tampaknya, di panggung gemerlap media sosial, harganya telah meroket hingga tak ternilai. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai racun yang bisa menghancurkan sebuah aset paling berharga, yaitu branding.
Anda membuat sebuah pernyataan yang menyinggung banyak orang. Situasi memanas. Seorang teman yang lebih senior dan bijak menasihati Anda, "Bro, minta maaf saja. Redakan situasinya." Apa jawaban Anda? Jika jawaban Anda adalah, "Gue nggak akan pernah minta maaf. Karena kalau gue minta maaf, branding gue rusak," maka selamat, Anda baru saja menjadi pusat dari sebuah fenomena budaya yang sedang dibedah dalam tulisan ini.
Kalimat sakti itulah yang menjadi inti dari ledakan terbaru di akun Instagram Deddy Corbuzier. Sebuah kalimat yang lebih dari sekadar curhatan, melainkan sebuah jendela untuk mengintip pola pikir aneh yang kini menjangkiti sebagian kreator di ruang digital kita. Ini bukan lagi sekadar drama influencer, ini adalah gejala dari sebuah penyakit yang lebih dalam.
Sindiran Deddy Corbuzier bongkar fenomena influencer (diduga Timothy Ronald) yang lebih mementingkan 'branding' daripada karakter dan menolak minta maaf. - Tiyarman Gulo
Kronologi
Semua bermula pada Jumat, 1 Agustus 2025. Lewat sebuah unggahan video yang khas dengan gaya blak-blakannya, Deddy Corbuzier menceritakan sebuah dialog panas dengan temannya. Ceritanya sederhana, sang teman dengan entengnya menghina kaum vegetarian, menyebut mereka "tolol" dan "nggak punya otak."
Bagi Deddy, yang podcast-nya menjadi arena bagi berbagai macam pemikiran, ucapan semacam itu adalah sebuah pelanggaran etika publik. Ia pun menyarankan solusi paling logis di dunia, minta maaflah. Namun, jawaban yang ia terima justru membuatnya terperangah. Penolakan untuk meminta maaf itu tidak didasari oleh keyakinan atau prinsip, melainkan oleh alasan yang sangat kalkulatif dan dingin, yaitu takut merusak "branding" yang sudah susah payah dibangun.
Di titik inilah Deddy tampaknya kehilangan kesabaran. Ia menutup telepon dan menyimpulkan ceritanya dengan sebuah kalimat pamungkas yang menusuk tajam, "Ini bukan tentang vegetarian, ini tentang monyet."
Sebuah kalimat yang cerdas. Deddy secara brilian mengalihkan fokus. Masalahnya bukan lagi soal pro-kontra gaya hidup vegetarian. Masalahnya adalah tentang sikap keras kepala yang tidak rasional, sebuah keengganan untuk mengakui kesalahan demi mempertahankan citra buatan. Persis seperti seekor monyet yang memegang erat sebuah pisang di dalam toples, tak mau melepaskannya meski itu berarti ia akan terus terperangkap.
Mengapa Netijen Mengarah ke Timothy Ronald?
Deddy Corbuzier tidak pernah menyebut satu nama pun. Ia membiarkan ceritanya menggantung, menjadi sebuah teka-teki bagi jutaan pengikutnya. Namun, internet adalah ekosistem yang luar biasa dalam menghubungkan titik-titik. Tak butuh waktu lama bagi warganet untuk berspekulasi dan, dengan suara bulat, menunjuk satu sosok, yaitu Timothy Ronald.
Mengapa? Karena pola perilakunya sangat cocok, seperti sebuah kunci yang pas masuk ke dalam lubangnya.
Mari kita putar waktu sedikit ke belakang. Belum lama ini, Timothy Ronald, seorang influencer di bidang keuangan dan investasi yang dikenal dengan persona "alpha male" dan anti-mainstream, memicu kontroversi serupa. Ia dengan percaya diri menyatakan bahwa orang yang pergi ke gym untuk membentuk otot adalah kegiatan "bodoh". Sebuah pernyataan yang, tentu saja, menyinggung komunitas fitness dan bahkan orang awam yang menganggap olahraga sebagai bagian dari hidup sehat.
Deddy Corbuzier, seorang praktisi fitness sejati, sempat merespons pernyataan tersebut. Ia tidak menyerang secara personal, melainkan mengkritik idenya, menyebutnya tidak pantas disampaikan ke publik.
Sekarang, coba kita gabungkan kepingan puzzle ini.
Pola Perilaku dengan Membuat pernyataan kontroversial yang menyederhanakan masalah kompleks dan menyinggung kelompok tertentu (anti-gym, anti-vegetarian).
Persona Publik dengan Membangun "branding" sebagai sosok yang "brutal honesty", tidak peduli dengan perasaan orang lain, dan menganggap dirinya berada di atas pemikiran konvensional.
Koneksi Langsung dengan Adanya "gesekan" sebelumnya antara Deddy dan Timothy terkait pernyataan kontroversial.
Ketika Deddy menceritakan tentang teman yang menghina vegetarian dan menolak minta maaf demi "branding", deskripsi itu terasa seperti cetak biru dari persona publik Timothy Ronald. Warganet tidak menuduh tanpa alasan; mereka hanya mengenali sebuah pola yang sudah sangat jelas terlihat.
Anatomi "Branding Anti-Minta Maaf"
Di sinilah kita sampai pada inti permasalahan. Insiden ini adalah puncak gunung es dari sebuah ideologi yang semakin merajalela di kalangan influencer generasi baru: branding adalah segalanya, bahkan jika harus mengorbankan karakter.
Apa Sebenarnya "Branding Kontroversial" Itu?
Sederhananya, ini adalah strategi marketing. Di lautan konten yang tak berujung, cara tercepat untuk mendapatkan perhatian adalah dengan menjadi yang paling berisik. Bukan dengan menciptakan karya yang paling bernilai, tapi dengan melontarkan pernyataan yang paling mengejutkan. Kontroversi adalah jalan pintas menuju engagement. Setiap komentar marah, setiap artikel yang membahas, setiap debat kusir, semuanya menaikkan metrik. Sang influencer tidak menjual produk atau jasa, mereka menjual sensasi. Mereka membangun citra sebagai "pemberontak" atau "orang pintar yang berani beda", dan para pengikutnya yang merasa terwakili akan menjadi tameng hidup mereka.
Psikologi di Balik Penolakan Minta Maaf
Mengapa kata "maaf" begitu menakutkan bagi mereka?
Dianggap Kelemahan. Dalam arsitektur branding "alpha" atau "edgy", mengakui kesalahan sama dengan menunjukkan kelemahan. Itu akan meruntuhkan fasad superioritas yang telah mereka bangun. Minta maaf berarti tunduk pada tekanan publik, sesuatu yang tabu bagi citra "anti-mainstream".
Merusak Echo Chamber. Influencer ini hidup dalam gelembung persetujuan. Pengikut mereka memuji setiap pernyataan kontroversial sebagai "kejujuran yang brutal". Minta maaf akan mengecewakan basis penggemar inti ini dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap "prinsip" yang selama ini mereka elu-elukan.
Kalkulasi Dingin. Mereka tahu bahwa drama akan mereda. Dengan tidak meminta maaf, mereka mempertahankan citra "keras kepala" mereka, dan beberapa minggu kemudian, mereka bisa menciptakan kontroversi baru. Bagi mereka, reputasi jangka panjang tidak sepenting lonjakan perhatian jangka pendek.
Benturan Dua Generasi Media
Sindiran Deddy Corbuzier menjadi sangat menarik karena ini adalah benturan filosofi. Deddy, meski modern, adalah produk dari "generasi media lama" di mana akuntabilitas publik adalah sebuah keharusan. Tokoh publik diharapkan memiliki tanggung jawab. Minta maaf bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kedewasaan dan cara untuk menjaga kepercayaan audiens yang lebih luas.
Di sisi lain, "generasi branding" ini melihat audiens secara berbeda. Mereka tidak berusaha merangkul semua orang. Mereka membangun "suku" atau cult following yang sangat loyal dan memandang seluruh dunia di luar suku mereka sebagai "musuh" atau "orang bodoh yang belum tercerahkan".
Apakah Strategi Ini Akan Selalu Berhasil?
Untuk saat ini, mungkin ya. Kontroversi memang terbukti ampuh untuk mendongkrak popularitas secara instan. Namun, membangun sebuah "kerajaan" di atas fondasi sensasi dan arogansi adalah pertaruhan yang sangat berisiko.
Keuntungan jangka pendeknya jelas, viral, dibicarakan di mana-mana, engagement meroket.
Namun, kerugian jangka panjangnya mengintai seperti predator.
Toksisitas Brand. Citra yang terlalu "edgy" dan negatif akan menjauhkan merek-merek besar dan mitra bisnis potensial yang tidak mau reputasinya tercoreng.
Kelelahan Audiens. Publik pada akhirnya akan lelah dengan drama yang sama berulang kali. Sensasi punya masa kedaluwarsa.
Menjadi Karikatur. Ketika seseorang terlalu terobsesi dengan branding-nya, ia berisiko menjadi karikatur dari dirinya sendiri, kehilangan kemampuan untuk tumbuh dan berevolusi sebagai manusia.
Ketiadaan Warisan (Legacy). Pada akhirnya, apa yang akan diingat dari mereka? Sebagai sosok yang berani mendobrak? Atau hanya sebagai badut internet yang pandai memancing keributan?
Cerminan untuk Kita Semua
Pada akhirnya, kisah sindiran Deddy Corbuzier ini jauh lebih besar dari sekadar drama antara dua persona publik. Ini adalah cermin besar yang diletakkan di hadapan kita semua, para penghuni dunia digital.
Ini adalah sebuah pertanyaan tentang nilai. Apakah kita lebih menghargai karakter atau citra? Apakah kita lebih mengagumi kerendahan hati untuk mengakui salah atau kekerasan kepala yang dibungkus dengan topeng "branding"?
Sang teman yang menolak minta maaf demi sebuah citra mungkin merasa menang dalam jangka pendek. Ia berhasil melindungi "aset"-nya. Namun, seperti yang disindir Deddy, ia mungkin hanya berhasil membuktikan bahwa ia terperangkap dalam toplesnya sendiri, memeluk erat pisang busuk bernama ego, sementara dunia di luar sana terus bergerak maju dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih mendasar.
Pertanyaannya sekarang kembali kepada kita: di panggung digital yang kita bangun bersama ini, tokoh seperti apa yang ingin kita beri panggung dan sorotan? Mereka yang membangun jembatan dengan kebijaksanaan, atau mereka yang membakarnya demi tepuk tangan sesaat? Pilihan ada di tangan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI