Pernahkah kamu berpikir, saat berdiri di SPBU, memegang selang bensin dan melihat angka rupiah di layar mesin pengisian terus berputar naik, bahwa harga per liter yang kamu bayar itu bisa jadi ditentukan oleh sebuah drone militer yang terbang ribuan kilometer jauhnya di atas langit Timur Tengah?
Mungkin terdengar seperti adegan film thriller Hollywood, tapi inilah kenyataan pahit yang sedang kita hadapi. Beberapa hari terakhir, berita internasional digemparkan oleh eskalasi konflik yang mengerikan, Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama Iran. Dunia menahan napas. Tapi bagi kita di Indonesia, pertanyaan yang lebih mendesak bukanlah "siapa yang akan menang?", melainkan "kenapa dompet saya yang terasa seperti ikut berperang?"
Jika kamu merasa berita tentang serangan AS ke Iran, Israel, atau konflik di Teluk Persia itu hanyalah tontonan jauh yang tidak ada urusannya dengan cicilan bulanan atau harga sembako di pasar, maka artikel ini akan mengubah cara pandangmu selamanya.
Ini bukan lagi sekadar berita internasional. Ini adalah peringatan dini tentang gelombang tsunami ekonomi yang berpotensi menghantam langsung isi rekening kita. Mari kita bedah bersama, dengan bahasa yang santai dan mudah dimengerti, bagaimana sebuah rudal yang diluncurkan di ujung dunia bisa membuat harga mi instan di warung sebelah rumahmu ikut meroket.
Konflik AS-Iran ancam Selat Hormuz, picu kenaikan harga minyak dunia. Dampaknya, subsidi BBM bengkak dan harga seluruh barang di Indonesia meroket. -Tiyarman Gulo
Selat Hormuz, Urat Nadi Minyak Dunia
Mari kita mulai dari sumber masalahnya. Setelah serangan AS yang menghancurkan fasilitas nuklir di Isfahan, Natanz, dan Fordow, Iran tentu tidak tinggal diam. Salah satu "kartu As" paling menakutkan yang mereka miliki adalah ancaman untuk menutup Selat Hormuz.
Tunggu dulu, apa itu Selat Hormuz?
Sebuah jalan tol super sibuk yang menjadi satu-satunya gerbang keluar-masuk bagi sebuah kota metropolitan raksasa. Jika jalan tol itu ditutup, seluruh kota akan lumpuh. Tidak ada barang bisa masuk, tidak ada orang bisa keluar. Kekacauan total.
Nah, Selat Hormuz adalah "jalan tol laut" bagi minyak dunia. Analis geopolitik dari Universitas Padjadjaran, Dina Sulaeman, menegaskan betapa krusialnya jalur ini. Lebih dari 20 juta barel minyak mentah, setara dengan 20% total konsumsi minyak dunia, melewati selat sempit ini setiap harinya. Raja-raja minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Irak, dan Kuwait, semuanya bergantung pada jalur ini untuk mengirimkan emas hitam mereka ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara yang memasok BBM ke Indonesia.
"Jika ini ditutup pasti akan memicu gejolak ekonomi luar biasa," kata Bertu Merlas, seorang anggota Komisi XI DPR RI, dalam sebuah pernyataan tertulis.
Ketika Iran mengancam akan menutup "jalan tol" ini, mereka sebenarnya sedang berkata kepada dunia, "Jika kalian mengganggu kami, kami akan membuat seluruh mesin ekonomi global macet." Dan Indonesia, sayangnya, berada tepat di jalur kemacetan itu.