Kebijakan - Kenapa Malaysia yang konservatif bisa lebih maju dari Indonesia? Pertanyaan ini muncul terus-menerus di meja diskusi, kolom komentar, dan pikiran banyak orang. Seolah-olah ada yang "gak masuk akal", kok negara yang terlihat lebih "tertutup" justru bisa lebih cepat melaju?
Padahal, kalau kita bongkar satu per satu, jawabannya bisa bikin kita semua tepuk jidat, kemajuan bukan soal konservatif atau liberal, tapi soal keseriusan, konsistensi, dan keberanian ambil keputusan besar.
Malaysia lebih maju karena skala negara lebih kecil, tata kelola SDA lebih efisien, stabilitas politik, investasi pendidikan, dan korupsi rendah. - Tiyarman Gulo
Konservatif Tidak Sama dengan Anti-Kemajuan
Mari mulai dengan meluruskan asumsi, konservatif bukan berarti anti-maju. Banyak orang mengira bahwa masyarakat konservatif identik dengan stagnasi dan menolak perubahan. Padahal, Malaysia adalah contoh nyata bahwa nilai-nilai tradisional bisa berdampingan dengan modernisasi ekonomi dan teknologi.
Malaysia tetap religius. Tetap menjaga adat Melayu. Tapi mereka tidak takut mendirikan kampus internasional, membangun bandara canggih, atau menjalin kerja sama ekonomi dengan negara Barat dan Timur. Identitas budaya dan visi ekonomi bisa jalan bareng.
Ukuran Wilayah dan Populasi
Satu hal mendasar, Malaysia lebih kecil dan lebih sedikit penduduknya. Bandingkan saja,
- Malaysia: 33 juta jiwa.
- Indonesia: 280 juta jiwa.
Dengan populasi hampir 10x lipat lebih besar, Indonesia menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Mengurus 17.000 pulau itu bukan main-main. Tapi ini bukan alasan untuk stagnan. Justru karena tantangan kita besar, butuh sistem yang lebih canggih dan profesional.
Sumber Daya Alam
Indonesia dan Malaysia sama-sama diberkahi sumber daya alam. Tapi beda cara mainnya.
Malaysia sejak awal fokus pada minyak dan gas. Petronas dibentuk dan dijaga secara profesional. Hasilnya? Petronas jadi penyumbang besar untuk APBN Malaysia. Ada arah, ada target.
Indonesia? Kadang potensi besar justru tenggelam karena,
- Tumpang tindih regulasi.
- Konflik pusat-daerah.
- Proyek mangkrak karena korupsi.
Sumber daya itu hanya jadi berkah kalau dikelola serius. Kalau tidak, ya jadi rebutan elit.
Konsistensi Malaysia Patut Ditiru
Sejak tahun 90-an, Malaysia berinvestasi besar dalam pendidikan tinggi dan vokasi. Universitas Malaya, misalnya, masuk dalam jajaran kampus top Asia. Mereka juga rajin kirim anak muda ke luar negeri, dengan ikatan untuk kembali membangun negeri.
Indonesia? Terlalu sering gonta-ganti kurikulum. Menteri ganti, visi berubah. Inovasi pendidikan pun kadang jadi korban eksperimen.
Stabilitas Politik dan Ekonomi
Stabilitas Malaysia di masa-masa awal pembangunan memberi fondasi kuat untuk tumbuh. Era Mahathir penuh kontroversi, tapi beliau punya rencana jangka panjang dan tahu apa yang harus dilakukan.
Indonesia? Kita sempat mengalami guncangan besar,
- Krisis 1998.
- Transisi Orde Baru ke Reformasi.
- Konflik horizontal dan politik identitas.
Tentu demokrasi kita sangat penting, tapi tanpa arah pembangunan yang jelas, demokrasi bisa kehilangan makna pembangunan.
Kebijakan Afirmatif
Malaysia punya kebijakan NEP (New Economic Policy) sejak 1971, yang fokus pada peningkatan kesejahteraan bumiputera (pribumi). Meskipun kontroversial, hasilnya jelas,
- Orang Melayu naik kelas.
- Kelas menengah tumbuh.
- Konsumsi domestik jadi kuat.
Indonesia belum punya program afirmatif nasional sejelas itu. Kita masih sibuk debat, apakah adil atau tidak, lupa bahwa ketimpangan akut juga bisa menimbulkan konflik sosial yang dalam.
Malaysia Relatif Lebih Bersih
Menurut CPI dari Transparency International, Malaysia biasanya berada 10--20 peringkat di atas Indonesia. Kasus 1MDB memang bikin geger, tapi sistem Malaysia tetap menunjukkan taringnya. Elite diproses, transparansi dijaga.
Indonesia? Skor korupsi stagnan. Bahkan kadang lembaga pemberantasan korupsi dilemahkan. Bagaimana rakyat bisa percaya kalau tikus justru makin lihai di gudang beras?
Refleksi: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Malaysia tidak sempurna. Tapi mereka punya,
- Konsistensi kebijakan.
- Skala yang realistis.
- Komitmen pada pendidikan.
- Pengelolaan SDA yang rapi.
- Stabilitas politik dan ekonomi.
Sementara kita, Indonesia, punya,
- Populasi dan pasar besar.
- SDA melimpah.
- Kekuatan budaya yang luar biasa.
- Generasi muda yang kreatif.
Kita tidak kekurangan potensi. Yang kita butuhkan adalah keseriusan dan kemauan politik.
Bukan Soal Konservatif atau Liberal. Tapi Serius atau Tidak?
Jadi pertanyaannya bukan, apakah konservatif menghambat kemajuan? Tapi,
Apakah pemerintah dan masyarakat kita sungguh-sungguh ingin maju, atau hanya sibuk mempercantik citra?
Negara bisa religius, bisa konservatif, bisa modern, bisa demokratis, selama sistemnya rapi, tujuannya jelas, dan pejabatnya bersih.
Mari belajar, bukan malu. Mari kritik, bukan sinis. Mari jujur, lalu perbaiki.
Penutup
Indonesia bisa jauh lebih maju dari Malaysia. Tapi hanya jika kita bersedia melihat ke dalam, apa yang selama ini menghambat kita? Siapa yang tidak mau berubah? Dan kenapa kita selalu kompromi dengan yang salah?
Kalau kamu setuju bahwa saatnya belajar dari tetangga, jangan lupa bagikan artikel ini. Karena perbaikan bangsa dimulai dari keberanian untuk jujur pada kenyataan.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI