Hukum - Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Banyak pihak beranggapan bahwa hukuman berat, termasuk hukuman mati, diperlukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.Â
Namun, di sisi lain, hukuman mati juga menimbulkan perdebatan karena menyangkut hak asasi manusia dan efektivitasnya dalam memberantas korupsi.Â
Apakah hukuman mati benar-benar solusi atau hanya sekadar wacana yang muncul di tengah kekecewaan publik terhadap sistem hukum yang ada?
Hukuman mati bagi koruptor menuai pro-kontra. Ada yang mendukung untuk efek jera, tapi juga ada yang menolaknya karena alasan HAM dan efektivitas hukum. - Tiyarman Gulo
Sejarah Penerapan Hukuman Mati di Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menerapkan hukuman mati, meskipun penerapannya lebih sering terjadi dalam kasus-kasus tertentu seperti narkotika, pembunuhan berencana, dan terorisme.Â
Dalam kasus korupsi, hukuman mati sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memungkinkan hukuman mati dijatuhkan apabila tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu seperti bencana alam atau krisis ekonomi.
Namun, hingga saat ini, hukuman mati belum pernah benar-benar diterapkan bagi koruptor.Â
Perdebatan mengenai penerapan pasal ini terus berlanjut karena berbagai faktor, termasuk keberpihakan hukum, kepastian hukum, serta tekanan dari berbagai kelompok hak asasi manusia.
Perspektif Hak Asasi Manusia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia.Â
Hak untuk hidup adalah hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Selain itu, pelaksanaan hukuman mati berisiko menimbulkan kesalahan fatal jika terdapat kekeliruan dalam sistem peradilan.
Di banyak negara, tren global menunjukkan bahwa hukuman mati mulai ditinggalkan sebagai bentuk penghukuman.Â
Organisasi internasional seperti Amnesty International dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara aktif mengadvokasi penghapusan hukuman mati.Â
Bahkan, beberapa negara yang sebelumnya menerapkan hukuman mati untuk kejahatan tertentu kini menghapusnya dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Selain itu, beberapa negara yang menerapkan hukuman mati terhadap koruptor tetap mengalami tingkat korupsi yang tinggi.Â
Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak semata-mata bergantung pada beratnya hukuman, melainkan pada efektivitas sistem hukum dan penegakannya.
Efektivitas Hukuman Mati dalam Pemberantasan Korupsi
Pendukung hukuman mati berpendapat bahwa penerapan hukuman ini dapat menimbulkan efek jera yang kuat.Â
Korupsi merugikan negara dalam jumlah besar dan berdampak buruk terhadap kesejahteraan rakyat, sehingga pelakunya dianggap layak menerima hukuman setimpal.
Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa hukuman mati tidak selalu efektif sebagai alat pencegahan kejahatan korupsi. Misalnya, beberapa negara di Asia yang menerapkan hukuman mati tetap menghadapi tingkat korupsi yang signifikan.Â
Ini membuktikan bahwa faktor lain, seperti sistem pengawasan, transparansi birokrasi, dan budaya hukum, memiliki peran yang lebih besar dalam menekan angka korupsi.
Faktor utama yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi bukan hanya soal berat atau ringannya hukuman, tetapi juga kesempatan dan lemahnya sistem pengawasan.Â
Jika seorang pejabat memiliki peluang besar untuk melakukan korupsi dengan risiko yang kecil, maka hukuman seberat apa pun tidak akan mencegahnya untuk melakukan kejahatan tersebut.
Pandangan Masyarakat dan Praktisi Hukum
Di masyarakat, wacana hukuman mati bagi koruptor sering mendapat respons beragam. Banyak yang mendukungnya karena merasa bahwa korupsi adalah kejahatan yang merampas hak rakyat.Â
Namun, sebagian kalangan praktisi hukum menilai bahwa pendekatan yang lebih efektif adalah penguatan sistem hukum dan penegakan aturan yang lebih ketat, bukan semata-mata hukuman berat.
Beberapa ahli hukum menyoroti pentingnya reformasi sistem peradilan agar lebih transparan dan akuntabel.Â
Jika sistem hukum masih bermasalah dan korup, maka penerapan hukuman mati bisa saja tidak adil dan hanya menargetkan pelaku tertentu tanpa menyentuh aktor intelektual yang lebih besar.
Selain itu, masih ada kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan hukuman mati dalam sistem peradilan yang belum sepenuhnya bebas dari intervensi politik dan korupsi itu sendiri.
Perdebatan Pro dan Kontra
Sejumlah argumen mendukung dan menentang hukuman mati bagi koruptor:
Pro Hukuman Mati:
- Korupsi merusak ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
- Hukuman mati memberikan efek jera yang kuat.
- Memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
- Negara-negara dengan hukuman berat terhadap koruptor cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah.
- Hukuman mati dianggap lebih efektif dalam situasi darurat seperti bencana nasional atau krisis ekonomi.
Kontra Hukuman Mati:
- Bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
- Risiko salah eksekusi dalam sistem hukum yang masih bermasalah.
- Tidak terbukti efektif dalam mengurangi korupsi.
- Hukuman seumur hidup dengan penyitaan aset lebih efektif dalam memberikan keadilan.
- Tren global saat ini mengarah pada penghapusan hukuman mati.
Alternatif Hukuman bagi Koruptor
Mengingat banyaknya perdebatan terkait hukuman mati, beberapa alternatif lain bisa diterapkan untuk memberikan efek jera bagi koruptor, seperti:
- Hukuman Seumur Hidup Tanpa Remisi -- Koruptor dipenjara seumur hidup tanpa kesempatan pembebasan bersyarat atau pengurangan masa hukuman.
- Penyitaan Seluruh Aset Hasil Korupsi -- Semua kekayaan hasil korupsi dikembalikan kepada negara dan digunakan untuk kepentingan masyarakat.
- Larangan Menduduki Jabatan Publik Seumur Hidup -- Koruptor dilarang kembali ke dunia politik atau jabatan publik agar tidak mengulangi kejahatannya.
- Publikasi Identitas Koruptor Secara Luas -- Memberikan efek malu dengan mengumumkan identitas koruptor kepada masyarakat luas.
Hukuman mati bagi koruptor adalah isu yang kompleks dan kontroversial. Di satu sisi, ada tuntutan kuat dari masyarakat untuk menghukum pelaku korupsi seberat-beratnya.Â
Di sisi lain, ada pertimbangan hukum dan HAM yang membuat penerapannya sulit.Â
Oleh karena itu, sebelum mengambil keputusan drastis seperti hukuman mati, perlu ada kajian mendalam dan perbaikan menyeluruh terhadap sistem hukum dan birokrasi agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efektif dan berkeadilan.
Sebagai bangsa yang mengutamakan keadilan dan demokrasi, Indonesia harus menemukan solusi terbaik dalam memberantas korupsi tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar yang dijunjung tinggi.Â
Lebih dari sekadar menghukum berat, pencegahan dan reformasi sistem yang transparan serta akuntabel adalah kunci utama dalam memerangi korupsi.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI