Mohon tunggu...
Sofah D. Aristiawan
Sofah D. Aristiawan Mohon Tunggu... Penulis - Sofah D. Aristiawan

Pengagum Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Logika Memilih

12 Januari 2016   00:10 Diperbarui: 12 Januari 2016   10:35 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia Ide nya Plato memberikan kita petunjuk bahwa dalam dunia tersebut dipenuhi oleh asumsi-asumsi. Asumsi yang muncul berasal dari cara berpikir manusia dimana cara berpikirnya berbeda-beda satu sama lainnya yang memunculkan asumsi yang berbeda-beda pula. Cara berpikir tersebut  terbentuk akibat dari segala hal yang diperoleh manusia dari luar dirinya (lingkungan). Cara berpikir tersebut juga mengantarkan manusia untuk memilih pilihan yang tepat dan benar, karena sepanjang manusia hidup maka sepanjang itu pula manusia harus menentukan pilihan-pilihannya. Dititik ini lah, manusia perlu suatu cara berpikir rasional dalam pola-pola memilih suatu pilihan. Logika memilih adalah suatu cara berpikir yang disandarkan pada rasa tanggung jawab.

 

Hipotesis logika memilih
Ketika kita dihadapkan pada dua pilihan atau lebih, maka tentunya pilihan yang terbaiklah yang ingin kita pilih. Namun kita tidak dapat mengetahui bahwa pilihan yang kita pilih itu benar atau salah sebelum pilihan yang kita pilih itu mencapai titik akhir berupa hasil.  Persentase kita memilih sama untuk semua pilihan, karena kita tidak bisa menghakimi diawal bahwa pilihan yang kita pilih itu merupakan pilihan yang tepat dan benar. Kita baru dapat mengetahuinya diakhir ketika hasil yang didapatkan apakah sesuai dengan apa yang diharapkan atau tidak. Jika jawabannya ya, berarti pilihan kita anggap berhasil, tepat, dan benar, tetapi sebaliknya jika jawabannya tidak, berarti pilihan yang kita ambil adalah pilihan yang tidak tepat dan salah.

Muncul sebuah pertanyaan: bagaimana cara terbaik agar kita dapat meramalkan sebuah pilihan yang akan kita pilih itu berakhir dengan hasil yang tepat dan benar? Secara umum, logika memilih kita akan menimbang-nimbang sebuah pilihan yang akan dipilih dengan melihat kadar kelebihan (+) dan kekurangannya (-), atau lebih spesifik lagi kita mengenalnya dengan istilah SWOT, Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman) dimana strengths dan weaknesses merupakan hal-hal yang berasal dari dalam sedangkan opportunities dan threats berasal dari luar. Kita tentunya akan memilih suatu pilihan yang banyak lebihnya dan sedikit kurangnya, atau bahkan hanya melihat kelebihannya saja tanpa perlu melihat kekurangannya dari pilihan yang akan kita pilih. Logika memilih seperti ini sudah menjadi pola pikir dan dogma tersendiri bagi kita sehingga mengantarkan kita pada budaya oportunistis. Lalu, apakah ada yang salah dengan logika memilih seperti itu? Jika penulis ditanya apakah ada yang salah?, maka jawabannya adalah tidak sepenuhnya benar. Logika memilih dengan ketentuan bahwa pilihan dengan hasil yang tepat dan benar adalah pilihan yang membawa kebaikan, kebermanfaaatan, dan bahkan keuntungan. Tentunya pilihan ini memberikan hasil yang jauh lebih tepat dan benar ketika keburukan dan kerugian sedikit bahkan tidak kita dapatkan. Ada dua hal yang kita dapati dari hipotesis logika memilih, bahwa:

  1. Pilihan yang harus kita pilih adalah pilihan yang paling banyak lebihnya dan paling sedikit kurangnya.
  2. Pilihan yang harus kita pilih adalah pilihan yang paling banyak lebihnya.

Semisal contoh, kita dihadapkan pada pilihan A dengan jumlah kelebihan 5 dan kekurangannya 3, sedangkan pilihan B dengan jumlah kelebihan 3 dan kekurangannya 5, maka logika memilih kita tentu memilih pilihan A. Contoh lain, kita buat pilihan yang susah dimana pilihan A dengan jumlah kelebihan 7 dan kekurangannya 5, sedangkan pilihan B dengan jumlah kelebihan 5 dan kekurangannya 3, maka ada sebagian dari kita memilih pilihan A tanpa mempertimbangkan berapa jumlah kekurangan yang akan diperolehnya.

Lalu, bagaimana dengan pilihan yang lebih dari dua? Isinya sama saja. Pola seperti ini sama untuk seberapa banyak pilihan yang kita miliki. Lebih dari itu, logika memilih mengantarkan kita untuk memilah pilihan dari banyaknya pilihan menjadi dua pilihan dengan pola yang sama. Orientasi inti dari hipotesis logika memilih adalah pilihan yang paling banyak lebihnya ialah pilihan yang harus kita pilih.

Darimana kita mendapatkan jumlah angka tersebut? Logika memilih dengan dua atau lebih pilihan ini haruslah berada pada kelas dan batasan yang sama. Semisal contoh, kita ingin memilih satu diantara dua orang yang paling pintar. Apakah Albert Einstein dengan Teori Relativitasnya lebih pintar dari Lionel Messi pemegang Ballon d’Or empat kali berturut-turut? Logika memilih tidak dapat memilih karena di dalam pertanyaan tersebut mengandung kelas yang berbeda. Begitu pun, apakah Albert Einstein dengan Teori Relativitas nya lebih pintar dari Stephen Hawking dengan berbagai karya tulisnya tentang alam semesta:  A Brief History of Time (1998), The Universe in A Nutshell (2001), A Brief History of Time: From The Big Bang to Black Holes (2009), dan The Grand Design (bersama Leonard Mlodinow, 2010)? Logika memilih tetap tidak dapat memilih karena di dalam pertanyaan tersebut mengandung batasan yang berbeda, meskipun berada pada kelas yang sama. Kelas dan batasan dalam logika memilih ialah satu kesatuan dan saling melengkapi. Seharusnya, jika kita ingin membandingkan siapa yang paling pintar, maka bandingkanlah Albert Einstein dengan Teori Relativitas nya dan Stephen Hawking dengan Teori Black Hole nya. Keduanya merupakan fisikawan modern (kelas yang sama) dan keduanya mengemukakan teori mengenai alam semesta (batasan yang sama). Lalu, bagaimana jika jumlah angka yang didapatkan sama? Secara pola tetap sama. Gunakan batasan-batasan lain yang tentunya sama. Begitu seterusnya.

Lalu, bagaimana kita mengetahui bahwa suatu pilihan yang dipilih diawal berdasarkan hipotesis logika memilih dikatakan berhasil diakhir? Seperti dijelaskan diatas bahwa kita baru dapat menghakimi berhasil atau tidaknya suatu pilihan yang dipilih setelah akhir dari suatu pilihan berupa hasil. Berhasil tidaknya suatu pilihan yang dipilih diukur berdasarkan suatu ukuran yang menjadi dasar penilaian, yaitu kriteria. Kriteria inilah yang memberikan hasil diakhir dari pilihan yang dipilih sesuai hipotesis logika memilih diawal.

Semisal contoh, katakanlah pilihan kita berikan pada Stephen Hawking ketika dibandingkan dengan Albert Einstein dalam hal siapa yang paling pintar diantara keduanya setelah melewati pola logika memilih. Tetapi hasil diakhir pilihan mengatakan bahwa Albert Einstein lah yang paling pintar karena berkatnya lah, wajah dan cara pandang dunia berubah dalam melihat ilmu pengetahuan dimana menjadi titik akhir era fisika klasik dan dimulainya era fisika modern, inilah kriteria yang dipakai. Selain itu, contoh ini memberikan kita sebuah hasil bahwa pilihan yang kita pilih ialah tidak tepat dan salah. Disinilah letak kesalahan dari hipotesis logika memilih. Contoh sederhana tersebut memberikan gambaran bahwa hipotesis logika memilih yang disandarkan pada pilihan yang paling banyak lebihnya ialah pilihan yang harus dipilih menjadi tidak tepat dan salah, karena di dalamnya tidak adanya penjelasan mengenai dampak dari gagalnya suatu pilihan yang dipilih.

Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan besar, sulit, dan menyangkut banyak orang?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun