Mohon tunggu...
Titus Kurdho
Titus Kurdho Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Permasalahan Media Online yang Cepat Namun Tidak Akurat

1 April 2017   04:55 Diperbarui: 1 April 2017   04:59 2333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Media online semakin menandai pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan ini berpengaruh pada eksistensi media, termasuk media online. New media atau media baru merupakan media yang menggunakan internet, media online berbasis teknologi, berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif dan dapat berfungsi secara privat maupun secara public (Mondry, 2008: 13). Perkembangan teknologi internet membawa perubahan besar dalam praktik produksi mau pun konsumsi media. Hampir semua media dewasa ini memanfaatkan teknologi internet. Dengan kehadiran teknologi ini, informasi bisa diakses di mana saja dan kapan saja melalui perangkat seluler cerdas atau komputer—sejauh memiliki akses terhadap internet, tentunya. Sirkulasi berita pun jadi lebih cepat. Setelah penyuntingan, sebuah berita bisa langsung diunggah, tanpa harus menunggu naik cetak sebagaimana media cetak. Oleh karena itu dapat dikatakan peradaban manusia saat ini yang bersifat sangat cepat dan serba instan berdampak pada peradaban media yang juga menjadi serba cepat. Memasuki ranah jurnalisme, hal itu kemudian melahirkan jurnalisme online dan menawarkan saluran informasi baru berupa media online itu sendiri . Kehadiran internet yang menyediakan beragam informasi dan berita lambat laun mulai mengalahkan kepopuleran media cetak. Perbedaan ini sangat terlihat dari kuantitas dan kualitas dari media online dibandingkan media cetak. Hanya dengan membuka gadget dan sekali ketik, semua informasi di media online bisa didapatkan oleh khalayak Bahkan banyak situs berita di internet menyajikan berita dengan cepat dan tanpa memungut biaya sepeser pun.

Kehadiran jurnalisme online telah merevolusi pemberitaan dimana kecepatan menjadi faktor utama. Kini, berita bukan lagi peristiwa yang 'telah berlangsung: tetapi peristiwa yang 'sedang berlangsung' yang disiarkan media. Setiap jam bahkan hingga bisa dalam hitungan detik, perkembangan suatu kasus di media online bisa langsung bertambah terus menerus. Jurnalisme online yang disiarkan melalui internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna untuk meng-update berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Karena itu, orang melihat internet sebagai media yang 'cepat' dari pada yang 'lebih detil' menyajikan informasi (Widodo, 2010). Kecepatan produksi berita ini juga punya andil besar dalam penghidupan sebuah media online karena berhubungan erat dengan lalu lintas (traffic) kunjungan pembaca pada sebuah media online. Seturut dengan perkembangan zaman, dunia jurnalisme dari yang awalnya hanya mengungkapkan fakta mengenai banyak hal di dalam lingkup masyarakat dan seringkali mengedepankan idealisme dalam penulisan setiap artikelnya, kini menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Kunjungan pembaca adalah vital. Kemudian menjadi perhatian utama para pengelola media online. Semakin sering sebuah media online dikunjungi, semakin banyak iklan berdatangan. Untuk mendongkrak pengunjung ini, maka diperlukan produksi berita yang cepat; yang terdepan mengabarkan sebuah peristiwa, dan secara kilat memberi perkembangan terbaru.

Di Indonesia, media online muncul tahun 1994 diinisasi oleh Republika dan kemudian disusul oleh Tempo & Bisnis Indonesia (1996) serta Kompas (1997). Pada awalnya, praktik yang dilakukan adalah memindahkan konten cetak ke internet. Sehingga dapat dikatakan, dalam kurun waktu ini, media online di Indonesia merupakan salinan versi cetak. Dengan kata lain pula, belum ada perbedaan praktik jurnalisme di media konvensional dan media online. Baru mulai tahun 1998, dengan kemunculan Detik.Com, praktik jurnalisme online sedikit bergeser. Praktik konvensional ditinggalkan dan mulailah praktik baru ala running newsdengan menyajikan berita berseri mengadopsi praktik yang telah dilakukan di kantor berita asing.

Kecepatan dalam jurnalisme online ini membawa masalah tersendiri. Kecepatan, apabila menjadi paradigma utama dalam produksi berita, berpotensi membuahkan pelanggaran kode etik jurnalistik. Demi mengejar kecepatan, sebuah media online sering sekali menyajikan data yang salah—terkadang bahkan fatal—atau menyajikan berita yang tidak etis dan relevan bagi publik. Kecepatan dalam menyampaikan berita memang penting bagi suatu media, terutama media online. Tetapi, sering kali media online lupa akan elemen yang lebih penting dalam jurnalisme. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2004) dalam buku The Elements of Journalism, terdapat beberapa elemen penting dalam jurnalisme, yaitu kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Selain elemen dalam jurnalisme, terdapat pula kode etik jurnalistik yang berjumlah 11 pasal. Pada teorinya, elemen jurnalisme dan kode etik jurnalistik sangatlah penting, tetapi hal tersebut mulai digantikan dengan kecepatan.

Praktik daur ulang konten juga menjadi hal yang lazim dalam praktik jurnalisme online. Tuntutan kecepatan menyebabkan tingginya tingkat pembelian konten pada perusahaan media maupun adaptasi informasi. Tak jarang, proses pemberitaan tersebut dilakukan oleh seorang jurnalis untuk sejumlah media online. Akibatnya, pemberitaan di sejumlah media online banyak mengangkat informasi serupa, dengan beberapa adaptasi kebahasaan. Kesamaan framing pemberitaan ini menimbulkan efek pewacanaan dan pembangunan makna publik yang lebih masif dibandingkan jurnalisme konvensional.

Media online mengutamakan kecepatan dalam pemberitaan, bahkan terkadang tanpa verifikasi dan bahan atau sumber yang mendukung. Seiring pesatnya perkembangan media online tanpa kendali, jurnalisme online selalu menjadi sorotan karena sering kali dianggap tidak mengedepankan objektivitas (akurasi, fairliness, kelengkapan dan imparsialitas) berita hanya untuk mengejar keinstanan. Hal inilah yang kerap menjadi masalah, di satu sisi, media online sangat memungkinkan penyebaran informasi jauh lebih cepat dari media konvensional, namun di sisi lain kecepatan ini mengorbankan prinsip-prinsip dasar jurnalisme diantaranya akurasi berita. Ada sebuah slogan menarik dari pembahasan para pengamat dan praktisi jurnalisme online yang sangat mengkritik permasalahan ini, yang dengan singkat bisa menggambarkan dunia jurnalisme online saat ini, “SPEED KILLS!”. Bahasa lokalnya adalah “Kecepatan membunuhmu!” atau bisa juga dipuitiskan menjadi “Cepat Namun Mematikan!”. Slogan yang awalnya digunakan oleh pegiat keselamatan lalu lintas ini ternyata sebuah padanan kata yang tepat untuk menggambarkan belantika dunia media online.

Kasus yang pernah terjadi adalah ketika peristiwa bom di Belgia sedang marak dan menimbulkan respons yang beragam dari seluruh dunia. Tentu media online juga tidak akan pernah luput dengan berita tersebut dan secara berkala memantau perkembangan peristiwa itu besar – besaran. Permasalahan yang tampak dari kecepatan berita peristiwa ini salah satunya adalah mengenai perkembangan jumlah korban. Setiap media online menyertakan jumlah korban yang diakibatkan oleh ledakan bom tersebut berbeda – beda dan anehnya apabila menyimak perkembangan itu dari beberapa media online, jumlah korban justru semakin menyusut setiap menitnya. Pada awalnya ada 14 korban kemudian turun jadi 10 korban, kemudian naik lagi menjadi berapa korban. Mereka seakan tidak mendapatkan kebenaran dahulu dari semua informasi yang didapatkan dan langsung saja menyebarluaskan potongan – potongan informasi yang belum sempurna ke dunia maya.

Bergeser ke dalam negeri, permasalahan ini juga justru sering sekali terjadi. Masih ingatkah dengan kasus Sonya Depari ? Media online gencar sekali membicarakan kasus ini, semua membeberkan kasus ini secara berkelanjutan, hampir setiap menit selalu ada berita terbarunya, tanpa mengkaji ulang terlebih dahulu kebenarannya lebih lama. Sebuah wawancara, hanya sepatah dua patah kata yang diucapkan, pelaku, saksi, maupun korbannya langsung disebarluaskan melalui internet. Silahkan memantau langsung kasusnya kembali, walaupun mungkin ribuan atau jutaan berita tersebut sudah membuat bosan. Apakah semua yang diucapkan Sonya Depari dalam potongan video tersebut memang salah ? Setelah beberapa hari, Arman Depari yang pada awalnya dikira tidak ada hubungan apapun dengan Sonya ternyata masih ada hubungan keluarga dengan Sonya. Menurut budaya mereka, hal itu wajar, panggilan Bapak apabila masih dalam satu marga, itu memang masih dibenarkan. Dampak paling buruk dari itu semua adalah meninggalnya ayah kandung dari Sonya. Perilakunya yang tersebar melalu video oleh karena lagi – lagi kecepatan media dan jurnalisme online bisa disampingkan terlebih dahulu, karena Sonya yang pada awalnya disebut khalayak netizen “pelaku” kini menjadi korban dari “SPEED KILLS!”.

Speed-driven journalism, demikian praktik baru ini dikenal. Bentuk laporan yang mementingkan kecepatan, lebih singkat, lebih pendek dan memberi ruang pemutakhiran informasi oleh jurnalis. Prinsipnya, “get it first!”, atau jadilah peliput yang pertama dengan mendahului jurnalis lain. Praktik ini diadopsi media online semata-mata dikendalikan oleh prinsip kecepatan.

Tentu saja, ada keuntungan dan kerugian saat media online memilih cara baru dalam praktik penulisan berita. Sisi kerugian lebih dirasakan audiens sebab berita (fakta dan pernyataan) banyak yang tidak terverifikasi, dan portal-portal ini jarang menampilkan laporan berbentuk in-depth. Selain itu, informasi yang tersaji juga tidak mempertimbangkan aspek kelengkapan berita. Sementara, keuntungan berada pada media karena praktik ini menjanjikan efiesiensi, yaitu publikasi instan yang memungkinkan jurnalis memperbaharui dan mengoreksi berita yang dianggap keliru.

Ironis, peraturan yang dibuat dalam dunia jurnalistik sebagai peraturan kode etik jurnalistik yang dibuat oleh para pekerja jurnalistik ternyata banyak yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah dibuatnya dalam melakukan pekerjaan jurnalistik. Sehingga, tak dapat dipungkiri pemberitaan media via online memiliki sebuah karakter yang berbeda dengan media cetak, televisi, radio. Kebebasan pers yang sangat sedemikian bebas ternyata di dalam media news onlie dirasakan lebih bebas, karena dalam medianews online, terkadang batasan-batasan etika jurnalistik menjadi kabur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun