Di dunia kerja sekarang, kata “produktif” hampir selalu jadi ukuran kesuksesan. Target harus tercapai, laporan harus rapi, angka harus terus naik. Tapi ada satu hal yang sering terlewat: karyawan juga manusia. Mereka bisa lelah, bisa jenuh, dan butuh ruang untuk bernapas.
Stres kerja bukan hal baru. Deadline yang mepet, rapat yang seolah tak ada habisnya, hingga budaya “selalu online” bikin banyak orang merasa terbebani. Kalau dibiarkan, bukan hanya karyawan yang jatuh sakit, tapi perusahaan pun ikut merugi karena performa menurun.
Inilah alasan mengapa peran HR harus berubah. HR zaman sekarang bukan cuma bagian yang mengurus absensi, gaji, atau rekrutmen. Mereka juga harus jadi penjaga keseimbangan antara tuntutan perusahaan dengan kebutuhan manusiawi karyawan. Dari menyediakan sesi konseling, workshop mindfulness, sampai cuti khusus untuk pemulihan mental—semua itu bukan lagi dianggap mewah, tapi perlu.
Kesehatan fisik pun jangan sampai diabaikan. Kursi kerja yang nyaman, ruangan yang terang, makanan sehat di kantin, hingga fasilitas olahraga sederhana bisa membuat perbedaan besar. Karyawan yang tubuhnya sehat pasti lebih fokus dan semangat bekerja, ketimbang yang harus bertahan dengan sakit punggung atau kurang tidur.
Banyak perusahaan dunia sudah membuktikan bahwa ketika karyawan merasa diperhatikan, loyalitas mereka meningkat. Mereka merasa dihargai bukan hanya sebagai “tenaga kerja”, tapi juga sebagai manusia dengan kebutuhan emosional dan fisik. Rasa memiliki terhadap perusahaan pun otomatis lebih kuat.
Kuncinya ada di kepemimpinan. Seorang atasan yang mau mendengarkan, yang bisa memahami keluhan karyawannya, akan lebih dihormati. Empati dari pemimpin menciptakan budaya kerja yang sehat, di mana semua orang merasa bisa bekerja sama tanpa takut dihakimi.
Teknologi memang bisa membantu. Ada aplikasi untuk memantau kesehatan kerja, layanan konseling online, bahkan wearable device yang bisa merekam aktivitas fisik. Tapi satu hal yang tak bisa digantikan teknologi: sentuhan manusia. Karyawan tetap butuh interaksi yang hangat dan jujur untuk membangun rasa percaya.
Di luar negeri, tren menarik mulai muncul. Beberapa perusahaan besar sudah menjadikan kesejahteraan karyawan sebagai bagian dari Key Performance Indicator (KPI). Jadi, keberhasilan perusahaan bukan cuma soal laba, tapi juga soal seberapa bahagia dan sehat para karyawannya.
Indonesia pun mulai bergerak ke arah yang sama. Ada perusahaan yang membuat program olahraga bareng tiap Jumat, menyediakan ruang khusus untuk relaksasi, atau mengadakan forum berbagi pengalaman seputar kesehatan mental. Meski langkahnya masih kecil, tapi ini pertanda baik.
Singkatnya, menggabungkan kinerja dan kesejahteraan bukanlah pilihan, tapi keharusan. Perusahaan yang berani berinvestasi pada kesehatan mental dan fisik karyawannya akan menuai hasil: karyawan yang lebih bahagia, lebih produktif, dan lebih setia. Bukankah itu tujuan semua organisasi? Dengan kata lain, kesejahteraan bukanlah hambatan bagi kinerja, melainkan bahan bakar utamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI