Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ingin Hidup Sejahtera Itu Gampang

27 Februari 2020   14:14 Diperbarui: 27 Februari 2020   14:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang karyawati sebuah pabrik garmen di Tangerang, yang memiliki karyawan sekitar seribu orang, mencoba peruntungannya dengan menjual kacang goreng, yang dibanderol dengan harga seribu sebungkusnya.  Hari pertama, dua ratus bungkus kacang terjual tak lebih dari satu jam.  Ia berhasil mengantongi dua ratus ribu rupiah dengan keuntungan nyaris separuhnya.

Dengan semangat tiada terhingga, dua hari kemudian si gadis energik tadi melepas ke pasar kagetnya lima ratus bungkus kacang.  Iapun terkaget-kaget, tumpukan bungkus kacangnya terjual habis sebelum tiba jam istirahat tengah hari.  Itu artinya hampir separoh karyawan mengunyah kacang goreng produksinya, jika dianggap setiap orang masing-masing membeli sebungkus saja.

Salah seorang rekan karyawati, tak mau kalah.  Berkolaborasi dengan sang suami, si karyawati yang tak mau kalah tadi ikut mengadu nasib.  Namun komoditas barang dagangannya agak berbeda.  Dengan dukungan penuh sang suami, yang kebetulan seorang sales peralatan dapur, ia memberanikan diri menawarkan dua puluh unit blender pembuat juice buah.

Keistimewaan blender yang ditawarkan dengan harga lima ratus ribu rupiah, dengan pembayaran cicilan dua kali tersebut, adalah bisa melumat buah yang jadi bahan dasar juice tanpa menyisakan ampas dan bisa langsung diminum tanpa perlu disaring lagi.  Serupa dengan nasib kacang goreng, ke dua puluh unit blender tersebut pun ludes terjual.  Bahkan satu dua karyawan yang tidak kebagian ada yang menanyakan, kapan sekiranya barang yang sama akan ada lagi.  Entah serius, entah hanya sekedar iseng demi basa-basi.

Sekarang, cobalah iseng jalan-jalan ke pasar kaget, yang digelar seminggu sekali di sekitar areal pemukiman warga, khususnya di sekitar pemukiman karyawan pabrik yang banyak terdapat di seputaran Tangerang.  Segala barang dagangan dijual di sana, dari mulai keperluan sehari-hari, hingga pernik-pernik hiasan tubuh, hiasan kamar mandi, kamar tidur bahkan hiasan rumah, senantiasa tersedia adanya.  Baik hiasan yang terbuat dari bahan-bahan yang memang khusus disiapkan untuk itu, maupun hiasan-hiasan yang dibuat dari bahan bekas, atau sampah daur ulang.  Seperti misalnya hiasan bunga dari botol kemasan air mineral bekas, atau hiasan berupa pohon dari ranting dan kain bekas.

Celakanya, para pengunjungnya yang sebagian besar pekerja pabrik tadi, entah kenapa selalu baik hati dan ringan tangan untuk membeli, benda-benda yang nyaris tidak bermanfaat tersebut, dan paling lama dua bulan saja hiasan-hiasan tersebut sudah berdebu karena malas membersihkan.  Jika ditanya kebanyakan akan menjawab, karena bosan dan dulu dibeli oleh sebab terlihat bagus serta harganya murah.

Untuk kalangan berpunya, dorongan untuk membeli sesuatu barang juga tak kalah ganasnya.  Baik keinginan membeli memang karena kebutuhan dan keinginan, maupun karena tergiur dengan harga murah, dengan asumsi karena sedang diskon, atau karena membeli barang dagangan yang dijual oleh teman.  Itulah sebabnya untuk golongan ini, dalam sebuah perkumpulan ibu-ibu yang terdiri dari sepuluh orang, lima di antaranya adalah pedagang, namun pedagang yang menjual barang dengan konsep "ketidak enakan pembeli", atau "ingin membantu teman".  Jadi jangan heran, jika sepuluh orang tadi berkumpul setidaknya ada lima jenis komoditas barang dagangan yang ditawarkan.  Dari mulai pakaian, peralatan dapur, peralatan berkebun sampai mainan anak.  Bahkan barang kebutuhan suami pun tak jarang mereka tawarkan, sambil ditingkahi tawa cekikikan berkepanjangan.

Sedangkan kalangan untuk atas, yang tingkatnya jauh di atas kalangan berpunya, minat belanjanya lebih kepada pemuasan keinginan untuk memiliki benda-benda eksklusif dengan edisi terbatas.  Yang biasanya  dibuat khusus untuk pemakai yang berjumlah kurang dari sepuluh orang di muka bumi.  Jadi akibatnya tidak terlalu merugikan keuangan makro, namun sangat menguntungkan bagi pedagang dan pembuatnya.  Bayangkan saja jika sebuah tas dari kulit ular pyton biasa dibanderol dengan harga tiga ratus juta dan hanya diproduksi tiga belas buah saja.  Bisa jadi, arwah ular pyton yang kulitnya dipakai membuat tas tadi langsung dipersilahkan masuk ke surga khusus para ular.

Boros Bukan Prestasi

Sejatinya, pemborosan dianggap sebagai berlebih-lebihan dalam pemakaian sumber daya yang digunakan untuk menopang hidup, baik itu berupa benda maupun uang, namun orang pada umumnya lebih menekankan kepada pemakaian uang dan benda yang harus didapat tidak dengan cara gratis.  Jika benda yang didapatkan secara gratis, acapkali orang tidak menganggapnya sebagai pemborosan.

Misalnya pemakaian air yang diambil dari sumur, akan berbeda cara pemakaiannya dengan cara pemakaian air yang diperoleh dengan berlangganan di PDAM.  Yang dari sumur tak segan dibuang-buang percuma, namun yang dari PDAM akan dihemat sedemikian rupa.  Tanpa sadar pemborosan air sumur yang berasal dari tanah, dalam waktu yang akan datang juga dapat menimbulkan akibat yang sangat mengerikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun