Dalam budaya pop alias kekinian yang sangat menjunjung tinggi dunia digital, termasuk sosial media, bentuk suara-suara yang dulu dianggap minor tidak lagi diam dalam menyuarakan pendapatnya.
Dengan media digital, apalagi sosial media, semua orang bebas menyampaikan pendapat atau pemikirannya terhadap yang terjadi saat. Pilihannya, mendukung atau tidak mendukung.
Bentuk sikap penyampaian pendapat kekinian saat ini sangat erat dengan budaya penolakan yang terjadi secara masal melalui platform digital, biasanya terjadi terjadi di media sosial dengan diiringi sebuah gerakan tertentu.
Gerakan - gerakan itu bisa berupa tagar tertentu atau berbentuk sebuah petisi. Budaya penolakan atau yang dikenal dengan Cancel Culture, semakin ke sini, memiliki makna yang bergeser dan menjadi sedikit "bias".
Dahulu, gerakan budaya penolakan ini merupakan bentuk ungkapan suara minoritas yang menyampaikan pemikirannya bagaimana seharusnya orang lain memandangnya.
Misalnya saja budaya penolakan apartheid yang terjadi beberapa komunitas internasional, nasional atau lokal. Jelas, kaum minoritas ingin disamakan dengan kelompok mayoritas yang mendominasi wilayah itu.
Dalam penyampaian pendapat penolakan ini, mereka kaum minoritas tempo dulu memberikan edukasi alasan mengapa apartheid harus dihapuskan. Keseteraan suku, ras dan agama atas nama kemanusiaan menjadi modal utama.
Bentuk lain di masa lampau, penolakan atas penjajahan juga menjadi cancel culture di masanya. Kemerdekaan atas hak pribadi untuk bebas bersuara, bebas berpikir, bebas bertindak.
Budaya penolakan ini menyasar banyak hal yang memang "scoop" masalahnya besar. Harapannya, ada perubahan besar bagaimana "dunia" memandang mereka agar tidak lagi tertindas.