Mohon tunggu...
Titin Hatma
Titin Hatma Mohon Tunggu... -

Membaca. Menalar. Menikmati.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Akselarasi Merenggut Kebahagiaan Anak

25 Mei 2013   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:02 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada cerita unik dari teman saya tentang sepupunya yang akselarasi, sebutlah namanya Anto. Beberapa bulan menjelang ujian di SD-nya, si Anto dan beberapa temannya yang masih duduk di kelas 5 tiba-tiba disuruh “naik kelas”. Hal ini dilakukan pihak sekolah karena konon ketika itu siswa kelas 6 peserta ujian jumlahnya tidak mencukupi. Jadilah, Anto and friends akselarasi dengan cara yang tidak lazim, yaitu untuk menutupi kekurangan jumlah peserta ujian. Waktu mendengar cerita ini saya tertawa terpingkal-pingkal: ini akselarasi yang sungguh aneh.

Terlepas dari keganjilan kisah di atas, kebanyakan orang tua pasti bangga jika anaknya diakselarasi. Tetapi, apakah anak betul-betul senang mengalaminya? Menurut saya, TIDAK.

Sejujurnya, saya tidak pernah merasakan akselarasi sungguhan seperti halnya Allysa Soebandono. Kisah akselarasiku sedikit berbeda, tetapi lazim kok, hehehe.

Dulu saya pernah kursus bahasa Inggris hampir dua tahun lamanya. Sistim di tempat kursus ini membagi-bagi kelas belajar berdasarkan kelas pesertanya di sekolah. Misalkan, saya yang masih duduk di bangku kelas 1 Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) akan belajar bersama siswa-siswa kelas 1 lainnya, meskipun kami berasal dari sekolah yang berbeda. Saya pun senang dengan kegiatan kursus ini; belajar sambil memperluas pertemanan dengan anak-anak dari sekolah lain.

Suatu ketika, saya di-naikkelas-kan oleh guru kursus saya karena menurut Beliau saya sudah pantas belajar Bahasa Inggris di level “Kelas 2 SMP”. Oke, saya terima. Bulan-bulan pertama saya menikmati belajar bersama anak kelas 2 karena sebagian dari mereka memang masih teman sepermainanku di sekolah maupun di lingkungan rumah. Tetapi, kebahagiaan saya serasa direnggut ketika harus naik level lagi: belajar dengan anak-anak kelas 3. Entah mengapa, rasanya “duniaku” jauh berbeda dengan “dunia” mereka. Mereka lebih dewasa dalam banyak hal. Jika anak-anak kelas 1 masih mengobrolkan cinta monyet yang tidak penting, kelihatannya anak kelas 3 memiliki kisah cinta sedikit lebih serius (pendapat saya saat itu). Pada akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti kursus karena ketidaknyamanan saya dengan lingkungan yang baru dan “lain”.

Meskipun demikian, tidak semua anak merasakan hal yang sama seperti saya. Teman saya yang lain bercerita bahwa adik sepupunya dua kali mengalami akselarasi dan anak itu terlihat sangat menikmatinya. Intinya adalah, tanyakan kepada anak Anda apakah mereka bahagia dengan akselarasi?

Salam Kompasiana, :)


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun