Pagi itu, Jakarta seperti terbagi dua
Di satu sisi, kawasan Monas berubah menjadi lautan panggung, spanduk, dan sorak sorai. Presiden Prabowo hadir. Para menteri dan pejabat tinggi lainnya duduk rapi. Beberapa pimpinan serikat buruh besar menyalami elite, menyambut May Day dengan jargon "buruh bersatu bela negara."
Namun, beberapa kilometer dari sana, di depan DPR RI, massa buruh, mahasiswa, jurnalis, pekerja rumah tangga, hingga aktivis lingkungan berdiri di bawah terik matahari. Tak ada panggung mewah. Tak ada mikrofon resmi. Hanya pengeras suara sederhana, poster tuntutan, dan suara yang bergetar karena lelah---dan kemarahan.
Pecahnya dua suasana ini bukan sekadar teknis lokasi. Ini adalah simbol: bahwa di negeri ini, bahkan Hari Buruh pun bisa direbut oleh kekuasaan.
I. Monas: May Day dalam Bayang Kekuasaan
Panggung utama May Day 2025 digelar di Monas dengan kehadiran Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah menteri kabinet. Empat konfederasi buruh besar turut serta, membawa ratusan ribu anggotanya ke dalam perayaan yang digambarkan sebagai "harmoni negara dan buruh".
Narasi yang dibangun jelas: bahwa pemerintah kini berpihak pada buruh. Bahwa kerja sama adalah kunci kesejahteraan. Bahwa era konfrontasi sudah selesai.
Namun, benarkah demikian?
Bagi sebagian buruh, ini terasa sebagai ironi. Sebab, di bawah rezim yang sama, mereka mengalami gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Kritik tak disambut, suara-suara akar rumput diabaikan, dan panggung hanya diberikan kepada serikat yang jinak.
Aliansi GEBRAK, yang menolak hadir di Monas, menyatakan dengan tegas:
"Kami dalam momentum ini tentu menyatakan tidak akan tergabung dalam agenda MayDay Fiesta yang diselenggarakan oleh pemerintah Prabowo-Gibran. Kami akan tetap menyampaikan aspirasi atau tuntutan kami dalam aksi turun ke jalan dan kami juga menyampaikan bahwa hak untuk menyampaikan pendapat atau unjuk rasa atau demonstrasi telah dijamin dalam Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 98 Tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, artinya negara melalui institusinya (aparat negara) harus menjamin kebebasan untuk berekspresi dan menyampaikan pendapatnya."
II. Suara dari Jalanan: May Day yang Tak Diundang
Sementara Monas dipenuhi tawa pejabat, jalan-jalan di berbagai kota menjadi saksi dari suara buruh yang tak diberi ruang di panggung utama. Mereka hadir dalam puluhan titik aksi: dari Medan, Riau, Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Subang, Garut, Bandung, Indramayu, Tasikmalaya, Purwokerto, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Sambas, Pontianak, Bengkayang, Bulungan, Kutai Timur, Berau, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Bali, Mataram, Bima, Manado, Gorontalo, Palu, Morowali, Makassar, Maluku Utara, Halmahera Tengah, hingga Papua. Bahkan, aksi solidaritas muncul di Melbourne, Australia.