Mohon tunggu...
Titik Nur Farikhah
Titik Nur Farikhah Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Strategi Minimalkan Penyebaran Covid-19 dengan Stay At Home

29 Maret 2020   18:03 Diperbarui: 5 Maret 2021   23:57 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak bisa disembunyikan bagaimana bahagiaku saat akhirnya bisa bersama keluarga setiap hari, bisa jadi ini adalah berkah virus corona. Meskipun kami keluarga kecil yang anggotanya cuma tiga orang, nyatanya untuk bisa bersama dalam satu meja saja susahnya minta ampun. Aku dan suami sama-sama bekerja sebagai abdi negara, kadang ada lembur, kadang luar kota. Jadi untuk bisa jalan bareng saja butuh komitmen. Sementara anak semata wayang kami yang kini menginjak remaja gak serumah lagi alias tinggal di pondok pesantren. Lengkaplah, rumah hanya jadi tempat istirahat, singgah dan menyimpan barang-barang.

Tepatnya Rabu pagi, 25 Maret 2020 dapat kabar dari sekolah bahwa semua siswa khusunya kelas IX sudah bisa dijemput. Tentu bukan tanpa sebab, ini terkait Surat Edaran Kemendikbud penghapusan Ujian Nasional. Langsung deh pihak sekolah ngumumin jika semua siswa kelas akhir bisa dijemput alias pulang ke kampung halaman. Tidak tanggung-tanggung, pembelajaran di rumah ini berlaku hingga tanggal 19 Juni mendatang. Busyeet lama banget...

Bersyukur itu pasti, orang tua mana yang tak ingin memeluk, mencium  menyajikan makanan, dan melihat anak setiap hari. Akhirnya mulai hari itu kami bertiga resmi berada di rumah, karena ASN juga terdampak Work From Home (WFH). Mulailah belanja kebutuhan rumah termasuk kebutuhan makanan (juga bahan pangan) di supermarket terbesar di kota kami. Beruntung, lokasinya dekat banget sama rumah.

Bagiku, menghabiskan waktu di dapur seharian adalah hal yang menyenangkan. Apalagi memasak termasuk salah satu hobiku. Suami dan anak selalu memuji setiap masakan yang kusajikan. Semua enak, kata mereka. Mulai dari yang ringan, seperti singkong thaliand, puding mangga, sup jagung, somay hingga menu-menu berat seperti nasi goreng, olahan lauk ayam, ikan, dan sayuran. Hampir tiap hari, sajian aneka juz, es teler selalu menghiasi meja makan. Pokoknya lengkap seperti di rumah makan.

Biasanya sehari cuma masak sekali, ini harus nyiapain tiga kali untuk menu pagi, siang, dan malam. Belum lagi ada kucing tetangga yang selalu bertandang ke rumah saat pagi dan siang. Hehe...kayak punya baby. Kadang kalau seharian dia gak nongol, jadi suka kepikiran. Kok bisa ya?

Sadar banget ternyata program pemerintah untuk stay at home (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah) cukup menguras isi kantong. Gak nyangka banget, pengeluaran jadi bengkak padahal belum genap sebulan tapi pengeluaran udah ngelonjak tiga kali lipat dari biasanya. Kata suami, yang penting tercukupi gizi dan semua sehat. Ya sudahlah, yang penting semua sehat dan bahagia.

Beras yang biasanya 5 kg gak habis untuk satu bulan, ini baru setengah bulan sudah habis. Masakan cepat banget ludes karena dapurnya ngepul terus. Mereka lebih suka masakan mamanya ketimbang camilan. Jadinya selama di rumah, capeknya berlipat-lipat dibanding biasanya. Belum lagi piring dan gelas kotor, lebih sering numpuknya. Hmmm....nikmati saja rasa  capeknya tapi lega melihat mereka kekenyangan.

Nah, untuk yang lain-lain seperti internet pastilah lebih kenceng, apalagi selama di rumah bekerja pun harus online. Listrik sudah pasti lebih boros, televisi nyala terus, cucian numpuk terus karena usai keluar rumah baju harus langsung dicuci. Untuk antisipasi aja sih, siapa tahu ada hal-hal tak terlihat dan berbahaya nempel di baju. Kan ngeri...

Dari rangkuman cerita seminggu di rumah, ternyata baru sadar bahwa Biaya Isolasi Mandiri alias biaya kebutuhan saat stay at home lebih besar dengan saat kita berada di luar rumah. Bawaannya lapar melulu. Saya sering kepikiran, dengan mereka yang hanya bisa bekerja di luar rumah. Seperti pekerja lepas, sopir, jasa delivery dan lain sebagainya lalu siapa yang menanggung hidup mereka setiap hari.

Baru sadar juga, mengapa pemerintah enggan memberlakukan secara tegas lockdown nasional. Mereka takut dampaknya. Ternyata ini jawabannya. Pemerintah cuma berani mengimbau untuk terus melakukan social distancing tanpa pernah penyinggung kebijakan lockdown. Karena mereka takut rakyatnya minta jaminan hidup. Jadikan dimana-mana lockdown rame-rame, mereka pilih lockdown mandiri.

Semoga kondisi ini segera berlalu, rakyat kecil bisa berdagang lagi, jasa delivery bisa kembali melayani pelanggannya, buruh lepaspun bisa mencari rezeki lagi. Ya Rabb... kuatkan mereka yang lemah, sehatkan mereka yang saat ini sedang sakit, dan lindungi kami semua dari wabah yang tak kujung reda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun