Mohon tunggu...
Akhdan Primayuda
Akhdan Primayuda Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sebagai seorang yang sering mempertanyakan arti hidup, saya menaruh semuanya dalam tulisan fiksi. Manusia terbatas karena kebebasan orang lain. Namun, manusia memiliki kebebasan dalam berfantasi. Saya hanya tidak mau memendam kebebasan yang tak seharusnya terkekang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gaung

12 Juli 2025   20:57 Diperbarui: 12 Juli 2025   20:57 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gaung yang tercipta bersamaan dengan seluruh harapan yang menghilang, mengakhiri malam kebahagiaan yang begitu riuh. Memainkan bass lead favorit yang menjadi salah satu alasan untuk hidup. Namun, satu jam yang menyenangkan itu bersimbah jadi debu.

Terlupakan oleh satu masalah yang tak benar-benar selesai. Masa lalu yang datang menghampiri secara perlahan membuat masa depan yang indah makin jauh. Hilang tak kembali. Layaknya seorang manusia yang selalu mengubur rasa bersalah dalam-dalam, aku hanya bisa melihat entitas itu kembali dengan warna yang baru. Warna yang campur aduk, larut bersama warna yang lain. Ia menjelma tak berupa. Tak tersentuh. Namun mengigit.

Jelas sekali rasa bimbang yang datang selalu berkutat didalam seonggok kepala yang tak karuan. Hal yang tak bisa kita kendalikan kadang benar-benar membuatku sangat jengkel. Kepala ini membuka lebar pintunya yang tak terkunci. Ia sangat nafsu akan beberapa kemungkinan dan hal-hal baru.

Disisi lain, aku yang membiru. Terbawa angin malam entah kemana. Membawaku tengah lautan. Terombang ambing, dan tertelan masuk kedalam perut ikan paus yang kelaparan.

Perlahan mendekap bersama kehangatan yang memang dari dulu harus aku terima. Satu hari. Satu minggu. Satu bulan. Satu tahun. Sampai kapan aku harus menerima semua ini? aku tak tahu.

Sampai sekarang, hari ini. Semua ini harus kutelusuri paksa. Kobaran dalam gubuk yang bersemayam dalam hutan belantara masih terlihat baranya. Belum sepenuhnya padam.

Terus mengingat masa lalu tak akan membuatku terus maju melangkah kedepan. Eksistensi keberadaan manusia sebenarnya sama layaknya hewan liar yang terkontrol oleh nafsu mereka. Namun, manusia masih memiliki kebodohan yang jujur, tulus, dan murni.

Dari seribu kegagalan yang dipaparkan, jika masih ada satu harapan yang bisa dilihat. Manusia mengambil jalan itu. Menuju ke tempat paling dalam, menemukan keberhasilan. Tak tahu mana yang benar atau salah, asal itu murni.

Orang-orang bilang jangan terlalu mendambakan ide yang besar. Mereka takkan terjadi.

"Pergilah kau ke neraka atas pikiran kotor yang menghantuimu!"

Perihal kecil yang tak bisa aku abaikan, kini telah tertumpuk banyak dalam gudang yang seringkali aku kunjungi. Dalam lemari usang berdebu, aku melihatnya. Album lama yang selalu kuputar bersama dengan hari terindahku kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun