Konflik perbatasan bukan hanya soal garis di peta. Ia menyangkut kedaulatan, sejarah, identitas, dan yang tak kalah penting: bagaimana negara mengelola kekuasaannya dalam situasi krisis. Dua contoh yang kembali mencuat belakangan ini datang dari Asia: bentrokan antara Thailand dan Kamboja, serta ketegangan historis antara India dan Pakistan. Keduanya memberi pelajaran penting, baik dari sisi hukum tata negara maupun hukum internasional.
Ketegangan Thailand-Kamboja: Sengketa Peta Lama dan Kedaulatan Hari Ini
Pada awal Juni 2025, ketegangan militer pecah di perbatasan Thailand-Kamboja. Thailand bahkan menutup dua pos lintas batas sebagai respons atas bentrokan yang terjadi. Ini bukan kali pertama dua negara bertetangga ini terlibat sengketa. Perselisihan soal wilayah Candi Preah Vihear, yang pernah dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ), masih menyisakan bara.
Secara hukum tata negara, tindakan militer Thailand bisa dilihat sebagai bentuk penggunaan kewenangan pertahanan negara oleh pemerintah pusat. Namun di saat yang sama, penutupan perbatasan membawa implikasi bagi hak warga sipil yang tinggal di kawasan tersebut. Di sinilah pentingnya pengelolaan negara berdasarkan prinsip konstitusionalitas dan proporsionalitas kekuasaan: bahwa negara berdaulat, tapi kekuasaan harus dijalankan dalam batas hukum.
Dari perspektif hukum internasional, sengketa ini memperlihatkan pentingnya mekanisme penyelesaian damai. Thailand dan Kamboja pernah menunjukkannya saat membawa kasus Preah Vihear ke ICJ. Ini sejalan dengan Pasal 33 Piagam PBB tentang penyelesaian sengketa secara damai. Namun, penggunaan kekuatan militer secara terbuka tetap bertentangan dengan prinsip non-agresi dalam Pasal 2(4) Piagam PBB.
Konflik India-Pakistan: Antara Integritas dan Hak Menentukan Nasib
Sementara itu, konflik India-Pakistan adalah salah satu konflik perbatasan paling panjang dan kompleks di dunia. Akar sejarahnya bermula dari pembagian wilayah India oleh Inggris pada 1947, dengan wilayah Kashmir sebagai sengketa utama. India mengklaim Kashmir sebagai bagian sah negaranya, sementara Pakistan menilai bahwa rakyat Kashmir berhak menentukan nasib sendiri.
Secara hukum tata negara, keputusan pemerintah India mencabut status otonomi Kashmir pada 2019 melalui penghapusan Pasal 370 Konstitusi India adalah bentuk penggunaan kekuasaan legislatif nasional terhadap wilayah sengketa. Namun, banyak pengamat melihat langkah ini sebagai bentuk pemusatan kekuasaan dan pelemahan prinsip federalisme.
Dari sisi hukum internasional, prinsip integritas teritorial dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) saling bertabrakan. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 47 tahun 1948 pernah menyerukan referendum di Kashmir, tapi tak pernah terlaksana. Dunia internasional seolah kehilangan kendali atas konflik ini, sementara kedua negara terus memperkuat kekuatan militernya---bahkan keduanya memiliki senjata nuklir.
Peran ASEAN: Ujian Komitmen terhadap Perdamaian Kawasan