Mohon tunggu...
Tino Watowuan
Tino Watowuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - MDW

Orang kampung; lahir, tinggal, dan betah di kampung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aksi Heroik Pahlawan Cilik vs Nasib Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di NTT

30 Juli 2019   14:43 Diperbarui: 14 Agustus 2019   22:56 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*) Oleh: Martinus D. Watowuan


Setelah berhasil menjuarai, dan memboyong piala pada Turnamen Nubun Baran Cup 2019 U-16 yang diselenggarakan di Kampung Ritawolo, Adonara Barat, Flores Timur, belum lama ini, membuat semangat anak-anak Kenari Jaya Fc semakin membara.

Untuk mengikuti Turnamen Sepak Bola U-17 menyonsong Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI tahun ini, di tingkat Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, mereka kembali berlatih. Sebelum senja bertengger, mereka ramai-ramai ke pantai. Di atas hamparan pasir yang membentang sepanjang bibir pantai Kampung Kenariblolong, Adonara Barat, Flores Timur, mereka berlari, saling berusaha mendahului; merebut si kulit bundar.


Ya, tidak lama lagi seluruh rakyat Indonesia berbondong-bondong mengikuti Apel Bendera pada 17 Agustus 2019 yang akan datang. Seluruh rakyat Indonesia sebentar lagi kembali meringati dan merayakan HUT RI yang ke-74 tahun.

Menginjaki angka 74 tahun adalah usia yang bukan lagi muda. Seyogianya, HUT RI tidak sekedar serimonial tahunan semata. Lebih dari itu, adalah momentum refleksi bersama. Bahwa tak dapat dinafikan masih banyak problem yang belum cukup dewasa dan serius untuk dituntaskan.

Oh ya, menyinggung soal Apel Bendera, tentu masih segar di ingatan kita semua, apalagi untuk orang Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentang aksi seorang pahlawan cilik bernama Yohanis Gama Marchal Lau (Joni) yang memanjat tiang bendera pada HUT RI 17 Agustus lalu yang kemudian menjadi viral itu.


Saking viralnya aksi siswa kelas 7 SMPN Silawan, demi berkibarnya sang saka merah-putih di Belu, Atambua ini, beritanya berseliweran memenuhi beranda media, baik lokal maupun nasional.

Tak ketinggalan dipertontonkan juga oleh warganet dalam akun media sosial. Seperti facebook, twiter, instagram, youtube, dan lainnya. Seakaan tak berbuntut. Mungkin saja ratingnya dapat melampaui berita huru-hara menyoal Cawapres yang dipilih Jokowi dalam duet Pilpres yang sedang hangat waktu itu.

Aksi Joni bak oase penyembuh dahaga di padang gurun. Ia satu-satunya menjadi penyelamat rasa cemas dan panik semua kepala di situasi genting dan penting, juga sakral saat itu.

Berkat keberanian dan jiwa patriotismenya, sebagai bentuk penghargaan, ia bersama keluarga diundang oleh Menteri Pemuda dan Olahraga ke Jakarta untuk menonton secara langsung Opening Ceremony Asian Games 2018 pada tanggal 18 Agustus tempo hari.

Selain itu, PT PLN (Persero) juga mengapresiasi aksi Joni yang nekat memanjat tiang bendera untuk memasang tali yang terputus saat bendera hendak dikibarkan. Melalui program PLN Peduli, ia diberikan beasiswa hingga jenjang pendidikan tinggi Strata 1 (S1). Dan masih banyak lagi hadia yang ia peroleh. Sungguh dia memang pantas berhak memperoleh penghargan.

Di balik itu, ada satu hal yang sempat menabrak nalar saya. Bahwa sesunguhnya ada kelalaian yang tidak harus terjadi. Barangkali terlampau fokus terhadap aksi heroik ini, kerja dari panitia HUT RI di Silawan-Belu seakan tak digubris. Seharusnya menjadi bahan evaluasi, walau pun kejadiannya tak disengaja.

Hemat saya, di balik aksi heroik ada satu musibah yang tidak boleh terjadi lagi. Kalau hal ini tidak diterjemakan sebagai satu musiba, maka ada usulan gokil dari saya; nanti Hut RI ke 74 tahun, kita seting selayak kejadian di Belu. Lalu saya sendirilah yang keluar sebagai pahlawan untuk memanjat tiang bendera. Kan tidak lucu.

Terlepas dari itu, sebagai orang NTT, pasti merasa haru dan bangga atas penampilan gemilang yang dilakoni Joni. Dalam peristiwa ini, sudah tentu ada orang tua yang selalu mengajarkan kebaikan dan keberanian kepada anaknya.

Namun jangan lupa, peran seorang pendidik juga menjadi penentu jalan pikiran, pun ketulusan jiwa bagi seorang siswa. Tanpa itu, keberanian, semangat, dan jiwa patriotisme tidak akan terinternalisasi dalam tumbuh kembang dan merasuk bersama aliran darah anak negeri.

Joni dengan keberanian dan semangat yang berkobar menyelamatkan situasi saat itu mendapatkan penghargaan yang luar biasa dari pemerintah. Lalu, muncul pertanyaan kontemplatif, bagaimanakah dengan nasib guru (honorer) di NTT yang memiliki semangat pengabdian yang tulus demi mencerdaskan anak bangsa?

Dengan peristiwa aksi heroik tersebut, negeri ini sangat mengharapkan dapat menjadi percikan api inspirasi cinta tanah air bagi seluruh anak negeri. Semoga lahirlah pahlawan-pahlawan baru seprti Joni dalam segala bentuk dan aspek kehidupan. Namun bagaimanapun juga, nasib negeri; prestasi anak negeri, selain orang tua, juga ada di tangan pahlawan tanpa tanda jasa.

Jika joni yang dalam sekejap mendapatkan berbagai banyak pujian, dan penghargaan yang mengharukan dari berbagai pihak, lalu bagaimanakah upah guru honorer di NTT yang telah bertahun-tahun tidak berlebihan dikatakan jauh dari layak kalau tidak enak dibilang menyedihkan? Nah, yang ini menarik. Mari melirik!

Begini; upah guru honorer di NTT rata-rata masih jauh dari UMP, sekali lagi, kalau tidak enak dibilang menyedihkan. Bagaimana tidak, jika hanya mengharapkan semangat pengabdian, lantas mengabaikan kesejateraan guru honorer. Rata-rata upa honorer di tidak sedikit sekolah yang tersebar di seantero Flobamora berkisar dari 100 ribu hingga 500 ribu per bulan.

Dalam lingkungan pendidikan, guru bahkan menjadi indikator sentral mutu pendidikan itu sendiri. Guru diharapkan memiliki kompotensi yang memadai demi mencerdaskan anak bangsa. Akan tetapi, semangat pengabdian perlu kiranya harus ditopang dengan selain sarana dan prasarana, tingkat kesejahteraan guru pun tak kala penting.

Di satu sisi kita mengharapkan mutu pendidikan dapat meningkat, tetapi pada sisi yang lain mengabaikan soal pemenuhan kebutuhan seorang guru, menurut saya adalah hal yang paradoksal. Tidak menutup kemungkinan berimbas pada menurunnya semangat pengabdian.

Untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga saja belum cukup, bagaimana mungkin bisa membeli buku-buku refrensi, menyusun program tahunan, silabus, RPP, biaya transportasi, dan lain-lain? Pada titik sentrum ini, aksi heroik pahlawan cilik dan nasib pahlawan tanpa tanda jasa di NTT dapat dibenturkan.

Si Joni secara tiba-tiba menjadi sorotan publik layaknya seorang selebriti. Ia sangat dieluh-eluhkan. Sedangkan nasib guru honorer, entah butuh berapa lama lagi memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Hendaknya menjadi salah satu bahan refleksi di momentum HUT Kemerdekaan kali ini. Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun