"Indonesia seperti sedang melakukan misi bunuh diri," Â dalam artikel di Kompasiana berjudul "Shin Tae Yong dan Misi Bunuh Diri".
Kalimat itu kini terasa seperti prediksi yang menjadi kenyataan. Setelah pemecatan Shin Tae Yong, pelatih yang selama empat tahun membentuk disiplin, mental, dan identitas permainan Timnas sepak bola nasional justru kembali tenggelam dalam euforia semu dan kegagalan nyata.
Erick Thohir, yang kini memegang dua peran sekaligus "sebagai Menpora dan Ketua Umum PSSI" dulu disebut sebagai sosok yang akan "memudahkan jalan pemajuan sepak bola Indonesia." Nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya. Di bawah kendalinya, publik lebih sering disuguhi panggung pencitraan dan jargon modernisasi, sementara substansi pembangunan sepak bola. pembinaan usia muda, integritas kompetisi, dan konsistensi kebijakan, terlupakan di balik layar konferensi pers dan slogan nasionalisme semu.
Intuisi buruk menguat sejak kekalahan menyakitkan Timnas Indonesia dari Jepang, yang dikupas tajam dalam tulisan "Euforia dan Kekalahan Timnas Indonesia atas Tim Jepang", menjadi salah satu narasi simbolik paradoks ini. Indonesia terjebak dalam euforia kemenangan sesaat melawan tim-tim Asia Tenggara, tetapi gagap begitu berhadapan dengan kekuatan Asia yang sesungguhnya. Ketika Jepang tampil dengan organisasi permainan dan mental juara, Timnas kita tampak hanya mengandalkan semangat tanpa arah sebagai buah dari kebijakan yang berubah-ubah dan pengelolaan yang lebih mementingkan kepentingan politik daripada pembinaan jangka panjang.
Kini muncul trending topic  "Menpora akan memanggil Ketua PSSI." Sebuah sindiran publik yang sarkastik, karena sejatinya yang dipanggil dan yang memanggil adalah orang yang sama: Erick Thohir. Inilah puncak paradoks yang memalukan. Bagaimana mungkin seseorang memanggil dirinya sendiri untuk dimintai pertanggungjawaban atas kegagalan sistem yang ia bangun sendiri? Jika ini bukan lelucon tragis, lalu apa?
Sepak bola Indonesia sedang terperangkap dalam pusaran kekuasaan yang berputar di tempat. Saat figur publik yang memegang kendali ganda gagal memisahkan peran regulator dan operator, objektivitas hilang, evaluasi menjadi formalitas, dan keputusan-keputusan strategis berubah menjadi drama politik sepakbola.Â
Dukungan dana pemerintah Indonesia untuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dari tahun 2020 hingga 2025 menunjukkan peningkatan signifikan sebagai bagian dari transformasi sepak bola nasional, dengan alokasi tahunan sekitar Rp150 miliar pada 2020-2023 untuk program pelatnas dan pengembangan timnas, yang kemudian melonjak menjadi Rp227 miliar pada 2024-2025 melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, termasuk pencairan awal Rp25 miliar pada Januari 2025 untuk persiapan kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Piala Asia (sumber: detik.com, 23/12/2024; antaranews.com, 23/12/2024). Total dukungan kumulatif selama periode ini diperkirakan melebihi Rp1,2 triliun, dengan Rp199,7 miliar dialokasikan khusus untuk pelatnas 2025, menjadi porsi terbesar di antara cabang olahraga lain, ditambah kontribusi tidak langsung seperti Rp10 miliar untuk SEA Games 2025 (sumber: antaranews.com, 23/12/2024; cnnindonesia.com, 14/10/2025). Meskipun demikian, tantangan seperti kegagalan lolos Piala Dunia 2026 tetap menjadi catatan kritis (sumber: kompas.com, 14/10/2025).
Rakyat sudah lelah dengan narasi "perubahan" yang hanya hidup di spanduk dan pidato. Mereka butuh pembuktian, bukan promosi. Butuh hasil, bukan retorika. Karena seperti dikatakan Timothy Apriyanto dalam tulisannya, "Euforia tidak pernah menggantikan strategi, dan nasionalisme tanpa profesionalisme hanyalah sorak-sorai tanpa arah."
Selama paradoks ini terus hidup, mimpi Indonesia ke Piala Dunia hanya akan menjadi ilusi kolektif yang tiap generasi diwariskan, bersama rasa kecewa yang sama, dan harapan yang makin redup di bawah bendera Garuda yang kian berat menanggung kegagalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI