Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterwakilan Kita dan Pengrajin Kata, Catatan atas Ekaristi Mario Lawi

28 April 2020   18:29 Diperbarui: 29 April 2020   03:27 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya saya mengira ada yang salah dengan saya ketika hati dan nalar tak berahi pada karya besar seorang peraih Nobel. Getir rasanya. Mungkin saya kurang kapasitas mengapresiasi maha sastra. Mungkin format Tukang Kebun sebagai rangkaian puisi-puisi terlalu rumit untuk saya.

Tetapi jika begitu, mengapa prosa Pengakuan Pariyem dari Linus Suryadi , atau Durga Umayi milik Mangunwijaya yang berformat rumit toh bisa membekas kalbu meski sekali berjumpa? Jadinya, dengan gegabah telunjuk saya arahkan pada penerjemahan Hartojo Andangdjaja. "Ah, mungkin penerjemahannya yang gagal-konteks sehingga suasana batin Tagore luput tersirat. "

Akhirnya Terjawab

Pada 25 November 2010 di Taman Ismail Marzuki, sang Putu Oka Sukanta berorasi pada peluncuran Burung Burung Bersayap Air kumpulan puisi karya Dewi Nova.

Putu Oka bersabda,

"Hasil akhir sebuah puisi harus mampu mengedepankan objektivitas (relatif) atau esensi yang tersembunyikan di bawah sadar irama. Puisi pengungkapan mikro dan individual tetapi harus mampu mereprentasikan nilai-nilai makro yang universal dan berperspektif ke kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi dan tujuan.


Puisi menurut saya tidak lengkap kalau hanya bisa dirasakan saja. Bahwa puisi pertama-tama menyentuh perasaan/emosi seperti halnya karya seni lainnya, itu benar. Tapi dari getar rasa yang dibangkitkan oleh makna kata dan irama, ia akan menjalar ke kesadaran rasio. Pembaca akan memperoleh kenikmatan dan pemahaman yang berakhir pada pencerahan.

Orang bisu yang cerdas dan cekatan tidak menjadikan kebisuannya sebagai hambatan untuk dipahami, bahkan orang bisu tersebut mampu memberikan pencerahan. Tetapi kalau puisi bisu, ia hanya dimengerti dan dinikmati oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Puisi semacam ini saya sarankan untuk disimpan di dalam lacinya, sebab ini salah satu perangkap pembodohan."

Tampaknya pidato Putu Oka Sukanta menyajikan setengah jawaban bagi problem saya.

Ya, setengah. Karena tentu tidak ada demarkasi yang tegas membelah mana puisi bisu mana yang berteriak nyaring.

Selalu ada daerah abu-abu, karena filter terletak pada persepsi subjektif penikmat. Sebuah puisi bisa jadi bisu bagi pribadi atau komunitas tertentu, tetapi nyaring bagi yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun