Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Aplikasi IT Iya, tetapi Jangan Lupa Pendampingan GAP

22 Mei 2019   02:52 Diperbarui: 22 Mei 2019   08:37 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu aplikasi teknologi informasi di bidang pertanian [harnas.co]

Masih ingat perdebatan capres Jokowi dan Prabowo tentang manfaat teknologi internet (revolusi 4.0) bagi sektor pertanian? Itu adalah perdebatan dua sisi: Jokowi yang optimis versus Prabowo yang pesimis atau lebih santun kita sebut berhati-hati. Dalam artikel ini saya akan meminjam dua pandangan mereka untuk mendiskusikan problem petani, terutama di Nusa Tenggara Timur, tanah tumpah darah saya.

Dalam debat capres tempo hari, tentang pembangunan pertanian dan pangan di era revolusi industri 4.0, Prabowo menyampaikan kekhawatirannya jika aplikasi teknologi informasi justru memberi keuntungan bagi pelaku industri pertanian namun bukan bagi petani selaku genuine producers. Sebaliknya Jokowi yang optimis memberikan beberapa contoh bagaimana aplikasi teknologi internet seperti market place membantu petani mengakses pasar dan memangkas rantai perdagangan sehingga memperoleh harga produk pertanian yang lebih baik.

Tak terbantahkan, akses informasi sangat dibutuhkan petani. Salah satu manfaatnya adalah petani mengetahui kondisi harga produk pertanian di pasar yang jauh dari desanya, misalnya harga komoditi di pasar internasional atau di kota-kota perdagangan di seberang pulau.

Sudah jamak dipahami, salah satu problem yang membuat harga komoditi pertanian (dalam pengertian luas) di tingkat petani rendah adalah asimetrisnya informasi. Para pedagang (pembeli hasil pertanian) yang lebih mengetahui kondisi pasar dibandingkan petani bisa menetapkan patokan harga tertinggi dan terendah ketika berhadapan dengan petani. Sebaliknya, petani, terutama di daerah pedalaman pasrah menerima berapapun harga yang ditawarkan pedagang sebab mereka tak tahu berapa sebenarnya harga komoditi mereka di pasar luar.

Kondisi ini yang dialami pula oleh petani Vanili di Kabuapaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Demikian yang saya pahami saat sebulan lalu berada di sana, melaksanakan survei pemetaan pasar dan rantai nilai komoditi vanili dan kemiri atas permintaan sebuah organisasi nirlaba.

Selain bertemu petani, saya berkesempatan berdiskusi dengan orang perusahaan pembeli dari Jakarta yang memiliki MoU dengan Pemkab Alor. Si orang perusahaan yang baru saja pulang membeli vanili dari desa pusat vanili di gunung bercerita. Saat ia dan timnya tiba di desa, sudah banyak pedagang yang melakukan transaksi dengan petani. Mereka mengajukan harga permintaan Rp 300.000 hingga Rp 500.000,- untuk vanili basah.

Harga itu tentu saja sangat rendah. Harga vanili kering saat ini berkisar Rp 6-7 juta.

Perlu pembaca tahu, vanili Alor terkenal sangat berkualitas. Dalam kondisi budidaya tanpa mempraktikkan norma budidaya yang baik (good agricultural practices, GAP) saja, panjang vanili di Alor ada yang mencapai 27 cm. Sebuah perusahaan asal India yang membuka anak perusahaan di Surabaya bahkan membeli vanili Alor hanya untuk mencampurkan dengan vanili dari daerah lain agar memenuhi standar penjualan ke konsumennya di Amerika Serikat.

Kata staf perusahaan asal Jakarta tadi, begitu ia tiba dan menginformasikan harga beli vanili basah dari perusahaannya Rp 800.000 per kg, para petani langsung meninggalkan para pengepul yang sudah tiba duluan. Beberapa petani yang sudah terlanjur menjual vanilinya seharga Rp 300-500 ribu merasa menyesal.

Para petani vanili di desa-desa di Alor memang buta kondisi pasar. Meski tahun kemarin harga sudah menyentuh Rp 850.000 per kg vanili basah, mereka tidak tahu apakah harga tahun ini akan sebesar itu. Sebelum orang perusahaan dari Jakarta ini tiba, informasi harga yang mereka tahu hanya bersumber dari para pedagang pengepul yang tentu saja tak akan mau membocorkan harga sebenarnya.

Kisah ini adalah contoh kecil tentang betapa pentingnya informasi pasar bagi petani.

Alangkah baiknya jika pemerintah, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo, bertekad mengembangkan layanan internet agar menjangkau desa-desa. Tetapi tanpa menunggu infrastruktur internet tersedia hingga ke pelosok, penyediaan informasi pasar seharusnya bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi lama, misalnya radio.

Akan sangat baik jika pemerintah kabupaten, melalui Dinas Infokom atau Dinas Pertanian atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan regular melalui radio mengumumkan kondisi harga-harga komoditi pertanian dan perkebunan di pasar dunia atau setidaknya harga di kota-kota perdagangan besar seperti Surabaya.

Tetapi problem petani vanili Alor bukan cuma ketiadaan akses terhadap informasi harga pasar. Mereka juga tak paham bagaimana norma budidaya vanili yang baik (GAP), pun praktik baik pascapanennya (Good Handling Practices, GHP dan Good Manufacturing Practices, GMP). 

Misalnya, banyak petani yang saya wawancarai mengaku tidak melakukan peluruhan bunga. Semua bunga vanili dikawinkan, berapapun yang ada pada pokok. Dengan praktik seperti ini seharusnya buah vanili akan kecil-kecil sebab pokok tanaman harus membagi hara kepada banyak buah. Untung saja Tuhan sungguh bermurah hati menghadiahkan kondisi tanah dan alam Alor yang luar biasa mendukung budidaya vanili. Tanpa praktik budidaya yang benar pun ukuran vanili Alor sudah luar biasa.

Kesalahan lain adalah soal panen. Petani di Alor memanen vanilinya sekaligus setandan, bahkan seluruh isi kebun, tidak dipilah berdasarkan buah yang sudah menunjukkan tanda matang fisiologis. Untuk soal ini problemnya memang bukan semata-mata ketiadaan pengetahuan. Ada pula faktor kepepet butuh uang tunai dan ketakutan vanili dicolong pencuri.

Demikian pula unsur-unsur GAP vanili lainnya, seperti pemangkasan tanaman naungan dan inang rambatan serta sulur vanili itu sendiri, tidak diketahui petani. Singkat kata, salah satu problem pokok petani vanili di Alor adalah rendahnya kapasitas berupa ketiadaan pengetahuan norma budidaya pertanian yang baik, lebih lagi penanganan pascapanen (pengeringan).

Untuk mengatasi problem ini, teknologi internet mungkin cuma sedikit membantu. Alasannya sederhana. Petani memiliki karakter  lembam dalam mengadopsi pengetahuan dan teknologi baru. Mereka hanya mau mengubah cara bertani warisan turun-temurun jika sudah melihat bukti nyata keunggulan cara baru.

Akses internet yang memperkenalkan mereka dengan praktik budidaya pertanian yang baik dan benar mungkin berdampak, tetapi sangat sedikit dan lama. Hanya 1-2 orang petani muda visioner---jika ada---yang boleh jadi akan meniru apa yang ia baca atau tonton di internet.

Bahkan penyuluhan pun, sekalipun reguler, belum tentu berdampak. Hemat saya cara yang efektif adalah penempatan penyuluh disertai demplot di desa-desa sesuai keunggulan komoditi pertanian dan perkebunan yang dimiliki.

Jika di setiap desa ada penyuluh pertanian yang tinggal dan memiliki kebun contoh, petani akan lebih mudah mengadopsi pengetahuan baru. Pertama karena mereka melihat bukti nyata keunggulan cara bertani yang benar. Hasil panen lebih banyak dan baik, hargapun lebih tinggi. Kedua, keberadaan demplot dapat menjadi laboratorium, tempat petani belajar sambil berpraktik  di bawah bimbingan penyuluh pertanian.

Menempatkan penyuluh dengan demplotnya di tiap desa bukanlah hal sulit. Bukan pula barang baru. Pada 2017 lalu, ketika melakukan survei pasar Jagung di Kabupaten Sikka dan Flores Timur, saya menemukan jika di Kabupaten Sikka sudah ada para penyuluh swadaya di desa-desa.

Desa-desa yang sukses mengembangkan pertanian adalah yang memiliki penyuluh swadaya handal. Salah satu desa sentra produksi jagung misalnya, penyuluh swadayanya adalah mantan kepala desa yang sekaligus petani inovatif dan berdedikasi. Saya terkejut ketika di akhir wawancara---yang ditemani secangkir teh rosela produksi sendiri---ia menghadiahkan saya sebotol kapsul obat tifus dari bahan cacing tanah yang ia dan kelompoknya produksi. Ia memberikannya setelah saya singgung pentingnya budidaya cacing tanah bagi petani. Olalala, si Bapak tani ini rupanya sudah melaju lebih jauh.

Sayangnya saya tidak menemukan keberadaan penyuluh swadaya di kabupaten lain. Kabarnya selain di Sikka, kabupaten yang juga telah menerapkan program penyuluh swadaya adalah Ende. Selebihnya kosong. Padahal keberadaan penyuluh swadaya ini sudah diatur sejak 2006 silam dalam UU Nomor 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. UU itu diikuti terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta.

Dalam UU 16/2006 disebutkan, penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.

Saya senang mendengar kabar bahwa semenjak 2016 lalu Presiden Jokowi dan Kementerian Pertanian mulai memacu lagi pengadaan penyuluh dan program penyuluhan, termasuk Kelembagaan Pelatihan Pertanian Swadaya. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menerbitkan Peraturan nomor 33/2016 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Pelatihan Pertanian Swadaya.

Isi Permentan 33/2016 ini sudah lumayan keren. Misalnya di sana disebutkan ciri Kelembagaan Pelatihan Pertanian Swadaya adalah

  1. Memiliki keunggulan dalam melakukan Usaha Tani perdesaan dan kesukarelaan berbagi pengetahuan, teknologi dan keterampilan kepada Pelaku Utama dan/atau Pelaku Usaha lain;
  2. Mempunyai lahan Usaha Tani dan/atau kegiatan agribisnis perdesaan yang layak dipelajari, dicontoh, ditiru;
  3. Melayani masyarakat untuk kegiatan berlatih, magang, berkonsultasi dan/atau kunjungan/studi banding;
  4. Berada di lingkungan Usaha Tani atau perdesaan yang mendukung proses belajar mengajar untuk peserta;
  5. Memiliki instruktur/pelatih, fasilitator lainnya yang professional.

Kini tinggal bagaimana sunguh-sungguh menerapkan peraturan dan kebijakan yang ada. Untuk itu perlu peran aktif pemerintahan daerah dan organisasi-organisasi swadaya masyarakat.

Masih banyak hal sebenarnya yang hendak saya ulas dan usulkan terkait pembangunan sektor pertanian. Tetapi agar tidak membosankan pembaca, lebih baik kita bahas di artikel berikutnya.

Tabik. Salam Indonesia berkemajuan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun