Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamilus Tupen, Masih Hal Baik dari NTT

13 Mei 2018   17:12 Diperbarui: 16 Juni 2018   17:19 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamilus Tupen. Sumber: facebook.com/Kamilus Tupen Jumat

Om Rhenald Kasali pernah menulis pada 2013,"Banyak orang berpikir muluk-muluk untuk melakukan perubahan. Faktanya, hanya orang-orang yang sederhana atau mampu menyederhanakan pikirannya sajalah yang mampu melakukan perubahan."(1) Om Rhenald menulis tentang Kamilus Tupen, aktor perubahan dari Adonara, NTT yang saat itu baru saja mendapat penghargaan Kusala Award.

Dua tahun sebelum itu saya bertemu Pak Kamilus di Adonara. Ia sedang bersama-sama para aktor perubahan di Adonara dalam kegiatan visioning yang diadakan Perkumpulan Pikul untuk mendorong aksi sinergis antara individu-individu aktor perubahan sosial-ekonomi di pulau kecil itu.

Di pagi hari, seorang lelaki di tengah kerubungan peserta tampak cerewet menceritakan keluh kesahnya tentang kelemahan-kelemahan koperasi di NTT. Cerewet pula menceritakan alternatif yang ia buat di kampungnya, sebuah organisasi yang ia sebut Kelompok Tani Lewewerong. Ia Pak Kamilus Tupen.

Saya mendekatinya, berkenalan dan mendengarkan gagasan-gagasannya. Saya katakan apa yang ia buat sebenarnya juga koperasi, juga ekonomi gotong-royong. Tetapi ia bersikeras tidak ingin disamakan dengan koperasi. Menurutnya koperasi hanya menciptakan budaya gali lubang tutup lubang, memudahkan orang meminjam tetapi tidak dicarikan jalan keluar. Karena itu Pak Kamilus menamakan organisasinya Kelompok Tani Lewowerang (KTL), tanpa kata koperasi.

Setelah acara hari pertama, saya katakan kepada rekan fasilitator, Om Frits Nggili, orang hebat yang mendirikan Geng Motor Imut, sebuah kelompok relawan inovatif di bidang peternakan dan energi alternatif di Kota Kupang, "Kita sudah temukan champion di Pulau ini."

Setahun kemudian, setelah upaya kami mempromosikan Pak Kamilus sebagai nominee NTT Academia Award gagal menang, saya ajukan kepada para bos Perkumpulan Pikul untuk adakan riset lebih jauh tentang apa yang Kamilus lakukan. Saya yakin KTL adalah sebuah solidarity economy, sebuah praktik moderen ekonomi gotong royong perlu telaah lebih jauh agar dapat direplikasi di tempat lain.

Om Torry dan Nyora Silvi, dua kakak sulung Perkumpulan Pikul masa itu setuju. Maka menginaplah saya beberapa pekan di rumah Pak Kamilus di Adonara.

Ketika mendapat terusan email dari panitia Kusala Award--Bu Sri Palupi jika tak salah-- yang membutuhkan rekomendasi peraih penghargaan, saya mengirimkan ringkasan profil Kamilus Tupen dan Kelompok Tani Lewowerang. Benarlah keyakinan saya, Pak Kamilus sukses meraih penghargaan itu.

Beberapa bulan sebelumnya, saya juga mengajukan Pak Kamilus untuk penghargaan Asoka. Ia lolos sampai tahap wawancara oleh ekonom (menurut Kamilus) yang datang dari Amerika. Sudah saya brief sebelumnya bahwa ia akan ditanya terkait soal likuiditas. Itu pula hal yang saya gali dulu saat meneliti KTL. Saya sudah kasih tahu bagaimana seharusnya ia jelaskan. Sial, karakter keras kepala Pak Kamilus sebagai orang Lamaholot terpancing saat merasa digurui si bule. Ia mendebat dan menolak masukan. Gagal deh.

Kini, mumpung ruang bagi NTT dalam program Kabar dari Seberang di Kompasiana masih tersisa, saya akan ceritakan lagi tentang Pak Kamilus dan organisasi hebatnya, serta beberapa perkembangan kecil.

Artikel ini adalah iktisar dari  ulasan yang pernah dipublikasikan di Majalah Inisiatif milik Perkumpulan Pikul. Sebaiknya Om-Tante unduh. Ada sejumlah kisah tentang aktor-aktor perubahan lainnya. Saya akan memberikan beberapa update kondisi terkini.

***

Di Desa Tuwa Goetobi, Kecamatan Witihama di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur berdiri koperasi unik, Kelompok Tani Lewowerang (KTL).

KTL unik terutama karena yang ditabung dan dipinjam bukan hanya uang, tetapi terutama sumber daya manusia, tenaga kerja. 

KTL digagas Kamilus Tupen, lelaki kelahiran Witihama, Adonara, 5 Oktober 1964.

Pak Kamilus menggagas pendirian KTL sepulang dari Malaysia. Ia memang pernah menjadi TKI, meninggalkan pekerjaannya sebagai guru honorer mata pelajaran Fisika di SMP dan SMU Witihama. 

Pak Kamilus bukan TKI sembarangan. Pada 1990 ia bekerja di Ally Azram Holding Company dan menjadi pegawai penting yang menjalankan fungsi manajer di kantor cabang Kinabalu. Ally Azran bergerak di bidang ekspor-impor dan ekspedisi.

Tetapi seperti umumnya lelaki Adonara, Pak Kamilus tidak lupa pada nilai glekat lewo (membangun kampung) dan karena itu memutuskan kembali ke kampung halaman setelah sepuluh tahun merantau.

Semula ia tidak langsung kembali ke Adonara. Pak Kamilus tinggal dulu setahun di Larantuka, ibu kota Flores Timur. Bupati Flotim saat itu memintanya bekerja sebagai manajer Flotim TV.

Karena banyak mengkritik kebijakan bupati, Pak Kamilus mengundurkan diri dan kembali ke kampung halaman. Ia pun mulai memasarkan gagasan-gagasan yang kelak mewujud dalam bentuk Kelompok Tani Lewowerang.

Pak Kamilus mengambil hikmah selama merantau di Malaysia. Ia melihat seseorang toke (majikan) bisa kaya raya hanya dengan menggaji seorang manajer dan banyak buruh untuk menjalankan usaha. Si Toke tidak perlu bekerja keras. Ia membayar keringat buruh untuk itu. Toke juga tidak perlu memiliki kecakapan manajemen, karena ada manajer yang diupahnya.

Pak Kamilus berpikir, jika rakyat bisa menghimpun modal, rakyat bisa menjadi majikan perusahaan, dan kekayaan yang selama ini mengalir ke segelintir pemilik modal bisa terbagi merata kepada rakyat. Rakyat menjadi majikan, manajer, sekaligus buruh.

Maka mulailah ia pasarkan gagasan itu kepada para tokoh dan pemuda di kampung. Ia ingin membangun sebuah badan usaha milik kolektif rakyat yang mencakup usaha simpan pinjam, koperasi produksi, koperasi konsumsi, hingga manajemen sumber daya manusia berbasis crowdsourcing.

Pak Kamilus memimpikan suatu saat nanti, kartu anggota organisasi ini berfungsi layaknya uang. Cukup dengan menunjukan kartu itu, anggota bisa membeli barang atau jasa dari anggota lainnya, mirip kartu kredit. Kira-kira seperti local exchange trading system (LETS), sejenis solidarity economy yang berdiri di British Columbia awal 1980an. Saya duga sistem LETS ini yang kemudian menginspirasi beragam mata uang digital sekarang ini.

Tidak mudah memasarkan gagasan itu. Orang-orang di kampung memandang Pak Kamilus sebagai orang aneh. Ia hendak mengembalikan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar, bukan penumpuk kekayaan. 

Setelah enam tahun berusaha, di ujung keputusasaan, Pak Kamilus didatangi sejumlah pemuda yang memintanya untuk mewujudkan gagasan-gagasan itu.

Menjelang Paskah 2010 berdirilah Kelompok Tani Lewowerang dengan anggota awal 30an orang yang menyetor simpanan pokok masing-masing Rp 100.000. Pada 2012, jumlah anggota KTL telah mencapai 400an orang dan tersebar bahkan hingga ke perantauan di Malaysia dan Papua.

Tidak seperti umumnya koperasi, KTL tidak melayani pinjaman konsumsi, tidak juga pinjaman investasi. KTL tidak meminjamkan uang sebagai inkind uang. KTL meminjamkan tenaga kerja. Karena itu, majalah Tempo edisi Bahasa Ingris pernah menyebut KTL sebagai koperasi waktu.

KTL hanya melayani pinjaman untuk pekerjaan di kebun, pembuatan rumah, dan pekerjaan pasca-panen. Tetapi bukan uang yang dipinjamkan.

Ketika ada anggota yang membutuhkan tenaga untuk membersihkan kebun---umumnya kebun mente---atau membangun rumah, anggota akan mengajukan ke KTL, berapa banyak pekerja yang dibutuhkan untuk berapa hari.

KTL lantas mengumumkan kepada anggota lain. Anggota yang bersedia menjadi pekerja akan dikirim ke lahan atau rumah si pengaju pinjaman.

Pada hari gajian, Rabu dan Sabtu malam, anggota yang telah bekerja akan menerima gaji dari kas KTL.

Anggota yang menjadi majikan (yang kebun atau rumahnya dikerjakan anggota lain) dapat membayar pinjaman (sejumlah upah yang dibayarkan KTL kepada para pekerja) dengan mengajukan diri menjadi pekerja untuk proyek yang dimiliki anggota lain. Upah yang diperoleh digunakan sebagiannya untuk mencicil pinjaman ketika sebelumnya berperan sebagai majikan.

Menarik bahwa tingkat upah per jam untuk jenis-jenis pekerjaan dibahas dan diperdebatkan bersama. Tingkat upah dinilai berdasarkan beban kerja dan kelangkaan keahlian. Mereka menyebut prinsip yang mendasarinya sebagai "upah imbang kerja."

Suatu ketika Pak Kamilus bertanya kepada saya mengapa dengan mendirikan KTL, ia pernah dituduh orang menjalankan praktik komunis. Saya katakan jangan kuatir sebab prinsip keadilan dalam masyarakat Komunis adalah setiap orang mendapatkan sesuai apa yang ia butuhkan, sementara prinsip dalam KTL baru pada tahap yang sama seperti sosialisme yaitu setiap orang mendapatkan sesuai apa yang ia sumbangkan. Prinsip upah imbang kerja.

KTL telah memberikan sejumlah manfaat bagi masyarakat Desa Tuwa Goetobi dan orang-orang Adonara, antara lain berupa:

Pertama, KTL mendorong peredaran cash money di Lewowerang. Kelangkaan cash money adalah salah satu problem utama pada masyarakat ekonomi Mente---sebab bergantung kepada panen Mente setahun sekali---dan menjadi penyebab banyaknya penduduk desa yang merantau.

Kedua, KTL membantu kaum perempuan yang ditinggal merantau suami dengan memberikan mereka pekerjaan (jika mereka anggota KTL) dan memproduktifkan kembali kebun-kebun mente. Dengan membiayai pinjaman tenaga kerja,  KTL memungkinkan kebun-kebun mente para perempuan itu kembali dirawat.

Ketiga,  TKI asal Adonara di Malysia dan Papua dapat membangun rumah dan memproduktifkan kebun mente meski mereka sedang jauh di rantauan. Dengan menjadi anggota KTL, TKI asal Adonara cukup mengirimkan uang untuk membayar pinjaman tenaga kerja di kampung guna membersihkan kebun Mente dan membangun rumah.

Keempat, tidak seperti koperasi yang seringkali---oleh kelonggaran dalam penerapan prinsip-prinsip koperasi---hanya memberikan pinjaman tanpa mendorong peningkatan penghasilan anggota, sistem dalam KTL justru membuat anggota-anggotanya mendapatkan pekerjaan.

Oleh praktik sederhana itu, Pak Kamilus dan KTL meraih sejumlah penghargaan. Ada Kusala Award 2013; salah satu praktik cerdas dalam Festival Forum Kawasan Timur Indonesia VII 2016; Tite Hena Awards 2017, dan sejumlah penghargaan lain.

Bagaimana Perkembangan KTL Kini?

Beberapa penggiat perubahan pernah bertanya, bagaimana perkembangan KTL kini. Mereka cemas sebab cukup lama tidak mendengar nama itu muncul lagi.

Tahun lalu, kebetulan sedang punya hajatan di Flores Timur, saya sempatkan diri menjumpai Pak Kamilus. Saya tidak puas jika hanya mendengar ceritanya via media sosial. Tiga malam saya bermalam di rumahnya dan menghabiskan tiap malam hingga larut dengan berdiskusi dan berdebat.

Bersama Pak Kamilus, Mei 2017. Sumber: facebook/Kamilus Tupen Jumat
Bersama Pak Kamilus, Mei 2017. Sumber: facebook/Kamilus Tupen Jumat
KTL  sedang dalam metamorfosa menjadi BUMDes. Perubahan yang baik. Saya setuju dengan Pak Kamilus. Bukan nama lembaga yang mesti dipertahankan, tetapi penerapan prinsip-prinsipnya yang harus diperluas.

Ketika UU Desa berlaku, Pak Kamilus dengan cepat menyadari strategisnya UU ini bagi pewujudan kedaulatan desa di Tuwa Goetobi atau Honihama (nama asli saat masih berupa kampung adat). Ia mencalonkan diri dan terpilih menjadi ketua BPD.

Dalam posisinya sebagai ketua BPD (DPR tingkat desa), Pak Kamilus mendorong partisipasi penuh rakyat desa dalam merencanakan dan mengawasi pelaksanaan pembangunan desa. Termasuk dalam menorong berdiriinya BUMDes, yaitu KTL dalam format baru, KTL dalam jubah BUMDes.

Ada beberapa gagasan model bisnis berbasis ekonomi gotong-royong yang sedang diperjuangkan Pak Kamilus melalui BUMDes. Saya belum akan ceritakan di sini sebelum mulai melihat langkah-langkah konkritnya.

Satu hal luar biasa yang lihat sungguh bermanfaat dari posisi Pak Kamilus sebagai ketua BPD adalah partisipasi  masyarakat desa dalam musyawarah desa yang dimulai sejak musayawarah dusun. Baru pernah saya lihat peserta musdus dihadiri begitu banyak orang dan musdes yang layaknya sebuah festival.

Musayawarah Dusun Lewowerang 24 April 2018 sebagai proses menuju Musawarah Desa Tuwa Goetobi. Baru musyawarah dusun sudah sebanyak ini. Sumber: Facebook/Kamilus Tupen Jumat
Musayawarah Dusun Lewowerang 24 April 2018 sebagai proses menuju Musawarah Desa Tuwa Goetobi. Baru musyawarah dusun sudah sebanyak ini. Sumber: Facebook/Kamilus Tupen Jumat
Tetapi saya cemas melihat Pak Kamilus mulai terlalu sering bepergian ke luar daerah. Saya tidak tahu untuk urusan apa April lalu ia repot-repot menghadiri Jambore Masyarakat Gambut di Kalsel. Kadang-kadang, dunia NGO menjadikan para aktor perubahan sebagai toserba, semua mau diurusi dan pada ujungnya semua terbengkelai.

Kecemasan lain saya, yang hingga kini belum dapat obatnya adalah Pak Kamilus belum tampak menghasilkan kader-kader penerus yang sehebat dirinya.

"Jika Om mau urus sendiri semuanya, saya kuatir Om akan stres dan jadi  tak sabar menanti hasil. Om bisa jadi diktator. Umumnya diktator, kecuali Harto dan Hitler, pada dasarnya orang baik. Tetapi karena tak sabar dan tidak percaya orang lain, jadilah ia diktator. Satu hal lagi, jika Om mati dan belum ada kawan lain bisa gantikan kapasitas Om, hal-hal baik yang sudah tercapai lenyap seketika." Selalu demikian pesan saya ketika bertemu dirinya.

Well, ia akan membaca ini. Saya tunggu saja apa pembelaannya via inbox medsos atau telepon.

***

Tilaria Padika

13052018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun