Mohon tunggu...
Tikah Kumala
Tikah Kumala Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mencintai tulis menulis | Editor Akuisisi di Stiletto Book | Aktif di Sanggar Kemanusiaan Jogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan

7 Maret 2013   04:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Melawan
Mendadak si istri jadi uring-uringan sendiri. Sial, kepada siapa ia mesti mengeluh? Pernikahan membatasinya buat menjaga banyak hal. Termasuk mengendalikan ucapan. Ketika hatinya benar-benar kalut karena ulah si suami, ia pun musti bungkam. Konon, menyimpan aib suami ialah keharusan. Maka ia menyimpannya sendiri di dadanya. Tanpa ia tahu, segala yang buruk jika disimpan di dadanya bakal membusuk. Ia bisa mati sebab hatinya kena sirosis.


Namun kini ia uring-uringan bukan perkara ribut dengan suaminya. Ia punya masalah yang membikin moodnya meletup-letup. Masalah yang datang dari luar rumahnya. Tapi kepada siapa lagi ia musti cerita? Si suami, yang konon musti dijaga aibnya pun tak mau membicarakan aib orang lain. Sekali-kalinya si istri membuka obrolan, si suami bakal meresponya dengan kasar. Yang lebih membuatnya sakit ialah ketika si suami tidak menanggapinya sama sekali, dan justru mengalihkan pembicaraan. Si istri sering mencoba buat menghapus pikiran buruk yang muncul dan berasumsi bahwa si suami tak mau peduli banyak hal pada masalahnya. Maka ia mencoba lagi. Marah lagi. Mencoba lagi. Berantem lagi. Mencoba lagi. Bedebat lagi. Sialan.


Nyatanya, masalah yang datang dari luar rumah pun bisa memicu perang di rumah tangganya. Ia kapok. Si istri kemudian lebih banyak menyimpan sendiri unek-uneknya. Toh, buat apa mengadu jika hanya menambah sesak yang musti ia simpan. Bahkan secara terang benderang, si suami berkata "Sudahlah. Jangan apa-apa diceritakan ke aku" katanya. Konon kepada suamilah ia hanya boleh berlindung, maka ia wajib menjaga yang buruk-buruk. Maka  perlakuan macam ini membikin hatinya mengeras. Ia lepas dari tradisi. Percuma menjadi patuh. Percuma segalanya.


Si istri mulai lepas, menulisi segala hal yang menjadi beban di hatinya. Tapi toh, si suami yang memiliki ia dari ujung kuku sampai rambut merasa memiliki semua catatannya. Dibacanya buku itu. Ini lebih parah. Kemarahan masalalu, jika dibaca di masa sekarang akan membikin pertengkaran baru. Lalu bagaimana? Kenapa perempuan tak boleh punya privasi?


Maka ia kembali uring-uringan. Tak mau menulis, ia mencari teman cerita. Seorang manusia. Tapi, sebaik-baik manusia, jika tak mencintai dan kaucintai bukankah tak bisa sepenuh hati menanggapi ceritamu? Lalu, apakah suamiku mencintaiku? Batin si istri.


Ia uring-uringan. Di hadapan suami ia memasang muka muram yang tak dibuat-buat. Semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan kasar. Sekali tersinggung ia mumtab.


"Kenapa to, De?" tanya si suami.
"Lagi banyak pikiran" kata si istri. Masih dengan muka masam.
"Cerita dong sama, Mas"
"Kan, Mas nggak suka kalau Ade banyak cerita?" Sanggah si istri.
Entah kekuatan dari mana, ia merasa perlu melawan. Ia butuh melawan. Melawan membuatnya jadi ada. Melawan membuatnya diperhitungkan. Ah, kenapa ia musti melawan lelaki yang justru dicintainya sepenuh hati.
"Kan sekarang Mas yang minta" kata si suami. Kini nada suaranya semakin menanjak.
"Apa perlu Ade uring-uringan, atau ade gila dulu. Baru Mas minta Ade cerita? Baru Mas perlu tahu?"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun