38 anggota DPRD Sumut tersangka kasus suap saat gubernur dijabat Gatot Pujonugroho. Suap itu diduga terkait pembahasan APBD Sumut di masa tugas para dewan itu yakni 2009-2014 dan 2014-2019.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah melayangkan pemberitahuan status tersangka itu lewat pimpinan DPRD Sumut pada 29 Maret 2018. Artinya informasi ini bukan hoaks.
Jujur, ini sungguh tragedi bagi rakyat di Sumut. Sebuah rekor yang patut dicatat di Museum Rekor Indonesia (MURI), tersangka dugaan korupsi terbanyak dalam waktu bersamaan dan di lembaga yang sama di Tanah Air.
Ini seakan memparipurnakan kasus korupsi dua Gubernur Sumut sebelumnya yang sudah divonis penjara yakni Samsul Arifin (sudah bebas) dan Gatot Pujonugroho (masih di penjara).
Samsul, Gubernur periode 2008-2013 dan Gatot, gubernur 2013-2018. Karena kadung divonis korupsi, Gatot tak sempat selesaikan periodenya, tapi dilanjutkan wakilnya, Tengku Ery Nuradi.
Warga Sumut pasti terhentak dan terhenyak. Betapa legislatif dan eksekutif di Pemprov Sumut diisi para pemimpin korup. Mereka diberi kepercayaan mengelola daerah kaya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia ini, justru secara berjamaah memperkaya diri lewat korupsi.
Kita tidak dalam posisi menyalahkan partai politik yang mengusung kader-kadernya, yang tersangkut kasus korupsi berjamaah ini. Tak semua kader parpol itu bejat, meski banyak juga kader yang dinilai terbaik malah bertindak brengsek.
Begitu juga rakyat pemilih di Sumut. Hendaknya tak cukup merutuk dan mengutuk mereka yang berada di etalase korupsi berjamaah itu. Ada ruang kontemplatif dalam menyalurkan aspirasi politik kepada parpol dan figur politisi tertentu.
Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut 2018 dengan dua pasangan calon, bisa menjadi titik kritis bagi masyarakat Sumut dalam menjatuhkan pilihan agar tak terperosok ke jurang yang sama untuk kali ketiga.