Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

"Dildo", Solusi Kejenuhan Politik Indonesia

6 Januari 2019   21:59 Diperbarui: 8 Januari 2019   15:41 1671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
facebook.com/DildoforIndonesia

Memaknai Kehadiran Dildo Dalam Suhu Panas Politik

Kehadiran Nurhadi Aldo disambut hangat oleh warganet, terutama kawula muda yang mendominasi interaksi di kolom komentar akun media sosial Dildo. Dibandingkan "lapangan gladiator" di akun media sosial yang berkaitan dengan politik, di mana pertarungan cebong dan kampret begitu vulgar dan panas. Setiap jargon dan visi misi yang disampaikan Dildo justru memancing persatuan warganet menuju kelucuan yang hakiki.

Tapi mengapa kita gembira akan jokes receh dari paslon nomor 10 tersebut?

Bisa jadi karena tingkat kejenuhan dan kebosanan kita akan kontestasi politik yang cenderung stagnan sejak pemilu 2014 lalu.

Pasar bebas politik selepas berakhirnya masa jabatan SBY melahirkan duopoli sosok politik yang bisa bertarung memperebutkan kursi presiden.

Bahkan duopoli tersebut tetap bertahan hingga pemilu selanjutnya, dikarenakan popularitas, elektabilitas dan proses politik yang tidak akomodatif terhadap munculnya sosok besar penantang baru. Mengingat polarisasi hebat ini adalah yang pertama setelah presiden dipilih secara langsung pada tahun 2004 ditambah kejenuhan masyarakat akan polarisasi politik ini memuncak. Dan akumulasinya adalah viralnya paslon fiktif Dildo ini.

Seperti yang dikatakan oleh mantan Komisioner KPU Sigit Pamungkas, bahwa fenomena viralnya Nurhadi-Aldo adalah satire yang muncul dalam situasi kejenuhan dan aspirasi yang tidak lagi didengar. (Kompas TV 6 Januari 2019).

Tak dapat dipungkiri memang, Dildo merupakan akumulasi kejenuhan politik yang melanda masyarakat.

Mayoritas masyarakat Indonesia berperan sebagai penonton (onlookers) dalam konteks partisipasi politik. Di mana dalam piramida partisipasi politik oleh David F. Roth dan Frank L. Wilson menempatkan penonton atau onlookers di atas kategori apolitik, yaitu tidak memiliki pandangan politik dan apatis terhadap politik.

Jangan sampai kegaduhan dan panasnya suhu politik tanah air menyebabkan degradasi partisipasi politik dan pengurangan onlookers yang meningkatkan apoliticals.

Mengingat angka voter turn out pada pileg 2014 lalu yang sebesar 75% justru menurun pada pilpres yang berlangsung sesudah pileg, yaitu sebesar 70%. Apalagi, karakteristik pertarungan politik saat itu yang dihiasi dengan isu SARA serta saling sindir antar pihak, yang berlangsung hingga sekarang, dinilai dapat menurunkan antusiasme masyarakat pada politik. Seperti yang diungkap Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni pada kompas.com (14 November 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun