Siapa yang tidak kenal Malik bin Dinar. Di kalangan para sufi, ketenaran beliau sulit ditandingi oleh lainnya. Dua keunikan yang saya lihat karakter sosok sufi ini, 1) menjadikan limpahan kekayaan untuk melempangkan pencariannya terhadap asupan kalbu dan 2) pengembaraan selama umur yang dimiliki –pun- itu semua diniatkan untuk menyempurnakan “pencariannya” itu.
Menjadi batal, jika ada yang mengatakan tipologi sufi senantiasa sejajar dengan menjauh dari dunia, lusuh, dan menyendiri. Sejarah hidup beliau bisa menjadi penguat keyakinan jika sufi polanya lebih pada “proses pencarian”. Tentu yang dicari adalah keagungan Dzat Yang Maha Agung, Allah swt.
Dzat yang menyiratkan simbol-simbol segala kebaikan, kelembutan, dan kasih sayang. Maka patut dipastikan, ketika hati dalam pencarian Tuhan, haram baginya untuk merujuk pada kekerasan, kebencian, dan seterusnya.
Syahdan, tatkala beliau berada di sebuah tempat. Kaum di daerah itu semua membicarakan dua nama yang terceritakan dengan begitu anggunnya. Hampir setiap kali Malik bin Dinar bertanya tentang keduanya selalu dijawab dengan kisah-kisah yang menginspirasi dan berhikmah.
Sebagai “sufi pengembara”, Malik bin Dinar tertarik dengan kedua sosok itu. Sepasang manusia yang menjadi buah bibir manis dengan segala kebaikan-kebaikan kisahnya. Tanpa berpikir panjang, Malik bin Dinar melangkah untuk menemui dua sepasang sufi itu. Dalam benaknya penuh tanda tanya, benarkah yang dicerita oleh banyak orang tentang ketinggian ilmu dan keanggunan pekertinya? Sebagaimana biasanya, Malik bin Dinar ingin mereguk hikmah dari yangdi carinya itu. Begitulah memang Malik bin Dinar.
Setelah jauh menempuh perjalanan mencari keberadaan dua sufi itu, sampailah beliau pada kota di mana kedua (laki-laki dan perempuan) sufi itu berada. Tidak sulit bagi Malik bin Dinar untuk menemukan rumahnya.
Terkejut Malik bin Dinar ketika menemukan dua sufi yang dicarinya ini hanya duduk bersila beradu sudut saling menatap saja. Lebih terkejut, melihat bibir keduanya membasah oleh gerakan dzikir disertai linangan air mata.
Rasa penasaran yang ada semakin menguat ketika dikaitkan dengan kisah-kisah yang hebat seprti yang diceritakan orang-orang tentang keduanya. “Apanya yang hebat…”, batin Malik bin Dinar sambil terus mengamati keduanya.
“Apa yang menjadi motivasimu untuk menemui, hai saudaraku, Malik bin Dinar…?”. Tiba-tiba terucap kalimat itu dari sufi laki-laki.
Terkejut benar Malik bin Dinar mendengar namanya di sebut. “Dari mana dia tahu nama saya?”, bisik Malik bin Dinar.
“Jika hanya ingin melihat kehebatan kami, pulanglah, di sini hanyalah dua manusia yang hina dan dhoif… kamu tidak akan menemukan apapun dari kami…”, lanjut sufi laki.
Andai tidak dikuatkan hati Malik bin Dinar, sudah kabur lintang pukang dirinya merasakan kata-kata yang sepertinya bisa membaca apa yang sedang dipikirkan. Dengan menguatkan hati, Malik memberanikan diri untuk bersuara.
“Sungguh, betapa khilaf hati ini. Apa yang engkau katakana, semua seperti yang aku batin. Alangkah berdosanya aku jika aku tidak meminta maaf atas kesombongan diri ini”, ratap Malik bin Dinar penuh tawaddu’.
“Yah, pulanglah, di sini tidak hal seperti yang engkau pikirkan itu. Pulanglah…”.
“Mohon maaf, orang alim, nyatanya orang-orang mengkisahkan lautan kebaikan atas-kisah-kisah kalian…”, jawab Malik bin Dinar bersikukuh tidak ingin pulang.
“Ya, tanyakan saja kepada orang-orang itu, biar mereka yang menjawab…”, kembali sufi laki-laki itu menjawab dengan ringan dan mantab.
“Aku ingin mendengar dari ucapanmu sendiri wahai hamba Allah yang mulia…”.
“Tidak ada, pulanglah …!”, sedikit agar keras, meski masih tampak samudera kelembuta dari raut wajahnya. Sementara, sufi yang perempuan tetap berdiam diri, dengan tetap sedikit menunduk, tenang.
“Aku tidak akan pulang, sebelum mendengar sendiri….”, Malik bin Dinarpun semakin penasaran dan ngotot ingin tahu.
“Tidaklah baik apa yang engkau ucapkan itu, Allah swt. lah yang Maha Sempurnan”, singkat dan mantab kembali.
Tersentak, akhirnya Malik bin Dinar luruh. Tetapi sebelum beranjak Malik bin Dinar membernaikan diri untuk berucap kembali.
“Sebelum aku pergi, sudikah saudaraku berbagi cerita sedikit. Mengapa saudaraku mulai tadi hanya duduk diam, berhadap-hadap, beradu sudut…?”.
“Kalau tentang itu, akan aku jawab…”.
Sufi perempuna semakin menunduk, menetes air matanya…
“Ia, aku ingin mendengarnya..”, sergah Malik bin Dinar penuh kegirangan.
“Aku dan perempuan yang ada dihadapanku ini adalah ipar. Suaminya dan istriku sudah lama meninggal…”, bisiknya melirih.
“Terus…”, cetus Malik bin Dinar, semakin penasaran.
“Aku sangat mencintai istriku, karena Allah swt. Iparku inipun amat mencintai suaminya, juga karena Allah swt. Maka kami buktikan cinta karena Allah swt. ini dengan saling berdzikir, dan akan terus sampai akhir hayat kami, sebagai rasa syukur atas cinta ini. Karena kami telah menemukan cinta sejati karena Allah swt…”.
Lunglailah Malik bin Dinar, dengan tenaga seadanya ia meninggalkan keduanya dengan tiada hentinya bertasbih kepada Allah swt.
Catatan :
(Kisah ini mengambil referensi dari buku Kasyful Mahjub dan tulisan-tulisan yang setema, dengan sedikit penambahan dari penulis dengan tidak mengurangi konten cerita yang ada. Jika ada beberapa hal yang terlewatkan, atau yang berlebihan, itu murni atas kekhilafan penulis, maka mohon koreksi adanya. Niatan yang ada untuk mengkisahkan kisah ini adalah betapa cinta karena Allah swt. mampu menghadirkan kenikmatan sepanjang hayat. Wallahu’alam bisshawab…)
Kertonegoro, 21 April 2015
Salam,
Berangkat Dari Hati Untuk Menumbuhkan Energi Positif
Ilustrasi : nisamey.blogdetik.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI