Basahi bibir sebelum suara terucap renyah
Lukai hati dengan lancipnya sakit rupa kejahatan diri
Bicaralah di dalam,
Agarkata terlontar meredupkan panas alam
Kelekar bak tangis gusar di belukar mawar
Seringai menjadi bebatuan landai di tepian pantai
Terkapar berputar-putar di selasar bilik pulasar
Janin-janin berhamburan menjadi kecebong kelaparan
Jika hidup tak lagi menua,
Kubur saja di tanah dewa, bebas dosa!
Jika mati senilai mimpi
Cabut nyawa sebelum nista
Jika sesama hanyalah pelengkap do’a
Bakar peradaban di atas tungku kebencian
Aku ingin hidup
Sedikit pernah mengusap nadi luka
Dari yang terinjak
Untuk meninggalkan jejak
Agar nafas mampu beranak-pinak
Aku ingin menyepi
Dari badai keniscayaan sejarah tak bertuan
(dari puisi Dahaga Rasa – akhmad fauzi)
Enam tahun ditinggal ibu menghadap Tuhan, rasanya belum genap untuk bisa mengusap rindu dengan doa. Batas waktu tak pernah tertoreh dalam target langkah diri, kecuali berharap Ibu dalam rahmadNya. Dan,kelak kembali berkumpul dalam nikmat syurga yang dijanjikan Tuhan Yang Maha Esa.
Enam puluh empat tahun ruh bersama tubuh kecil menjejakkan kiprah sejauh kerikil dan bebatuan hidup. Hanya sesekali aku hitung mata tua itu terbasahi butiran air mata. Jarang disertai duka, walau sebenarnya tangis luka. Yang kerap tertampakkan adalah air mata bahagia, untuk memberikan bukti jika hidup memang ingin menampung sedih keluarga.
Terlalu sederhana jika ketinggian budi harus aku ulas dalam tulisan tak berarti ini. Guratan karya sebagai nakhkoda rumah tangga biarlah bersemayam dalam kebingungan diri menggapai balas jasa beliau. Langkah kecil ketersendatan hidup, potret kebermaknaan puluhan nyawa yang telah ditinggalkannya. Menjadi inspirasi jika kebaikanlah yang mampu mencipta ini semua.
Yah, kita bukan berpisah, masih ada sisa waktu lagi untuk bisa engkau usap kening kenakalan ini. Kerinduan akan kecup di telapak lebam hanyalah berbatas bilik saja. “Jalani hidup dengan kebaikan, karena agama mengajarkan demikian. Kuatkan aqidah, karena itu yang akan menjanjikan kita bisa bersua...”. Pesan yang senantiasa terulang, tiap kali keluh kesah tertumpah di hadapan ibu tercinta.
......................................................................
Ibu, aku dan semua yang engkau tinggal akan menyusul. Tunggu dengan kesabaran yang pernah engkau terapkan kepada kami. Akan aku bawakan bekal kebaikan yang pernah engkau pesankan. Walau hanya sebaris kalimat kebaikan!
........................................................................
Catatan :
aku tulis semua ini sebagai hadiah atas cerianya wajah selalu meneduhkan kekalutan yang hinggap dalam hidup di setiap detiknya. aku yakin, di tawanya yang lepas, ada kedahsyatan obat penyembuh kegerahan. Aku bersyukur kehadhirat ALLAH SWT. yang diijinkan hidup bersama buah hati ini..... salam semangat untuk anak-anak ku, anak-anak kita...
Kertonegoro,21 Desember 2014
Link terkait :
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/12/21/dahaga-rasa-711905.html
Ilustrasi : anneahira.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI