Jatinangor --- Sore itu langit tampak murung, seolah menyimpan tangisan awan yang tak tertumpahkan sejak pagi. Hujan turun perlahan, menyapa atap-atap rumah, membasahi jalanan dan gang-gang sempit. Suara air terus menetes berirama melalui genting kos ku.Â
Aku baru pulang dari kampus dengan tubuh letih dan pikiran penuh. Aku tengah menunggu seseorang.Â
Dalam kondisi hujan seperti ini, mungkin cukup menjadi alasan bagi siapapun untuk membatalkan agenda mereka. Namun, tidak bagi bu Tuti. Sebelumnya, aku memiliki janji untuk dipijat oleh bu Tuti. Aku kira dengan turunnya hujan, bu Tuti akan membatalkannya.
 "Sudah janji, Neng. Setelah ini juga ada pasien lain. Gapapa, sekalian jalan,"Â
Begitu jawabannya ketika aku mengatakan bahwa tidak apa jika dibatalkan. Maka, aku duduk sambil menanti di kamar kosku ditemani suara hujan yang menyelinap masuk dari celah jendela.Â
Tak lama, pintu diketuk. Tiga kali. Ringan. Pasti itu Bu Tuti.
"Neng," panggilnya.Â
Aku membuka pintu. Di hadapanku berdiri seorang perempuan paruh baya, tubuhnya yang dilapisi jaket plastik lusuh itu meneteskan air. Ia tersenyum lembut, matanya menyiratkan lelah yang tak mengeluh. Ia membawa dua kantong: satu kantong berisi minyak urut dan lotion yang tentunya untuk memijat. Sementara satu lagi, berisi cerita. Â
Cerita tentang bagaimana perjalanannya menapaki gang-gang kecil, menyusuri rumah ke rumah selama lima tahun kebelakang. Tentang punggung-punggung yang nyeri, tentang tubuh yang lelah, dan tentang tangan yang menyembuhkan dalam sentuhan.Â
Bu Tuti mulai bercerita, seraya menyiapkan minyak dan menggelar alas tipis di lantai kamar.
"Awalnya saya bukan tukang pijet, Neng. Dulu mah saya kerjanya masak, di warung makan. Tapi pas Covid-19, saya berhenti..."Â