Di era digital saat ini, banyak sekali konten- konten viral berseliweran di platfrom media sosial seperti tiktok, Instagram, twitter dan sebagainya, tanpa kita sadari bahwa ternyata konten viral memiliki pengaruh besar terhadap cara berpikir dan perilaku anak muda Indonesia. Setiap hari nya, media sosial dipenuhi dengan berbagai tren, tantangan (challenge) dan konten yang mengeksploitasi emosi dan kehidupan pribadi seseorang hingga fenomena yang dengan cepat menyebar di kalangan pengguna. Namun, dibalik popularitasnya, tidak semua konten viral membawa dampak yang baik, justru banyak juga konten viral yang memberikan dampak buruk terhadap anak muda Indonesia, sehingga hal tersebut perlahan-lahan merusak etika serta mengikis nilai-nilai moral yang telah lama dijunjung tinggi dalam budaya Indonesia. Opini akan membahas dampak buruk konten viral terhadap etika anak muda Indonesia, dengan fokus pada 4 aspek: Adanya  normalisasi perilaku tidak etis, mengorbankan moral demi popularitas dan validasi digital, mengedepankan gaya hidup konsumtif, kurangnya kesadaran akan etika digital
1. Adanya Normalisasi Perilaku Tidak etis
Seperti banyak nya konten-konten viral yang telah kita lihat di berbagai media sosial, bahwa, ternyata konten viral sering kali membentuk standar baru dalam berperilaku. Sebagai contoh, banyak video prank yang mengandung unsur penghinaan atau mempermalukan orang lain, tetapi tindakan seperti itu justru dianggap sebagai hiburan semata. Hal ini membuat sebagian anak muda menilai bahwa bercanda dengan cara merendahkan orang lain adalah hal yang wajar atau pun dianggap tidak masalah. Dan contoh lainnya adalah tren "hate speech dan cyberbullying", media sosial memungkinkan siapa saja untuk berbicara tanpa di filter. Namun sayangnya hal ini membuat banyak anak muda yang terpengaruh oleh tren "hate speech" dan "cyberbullying". Konten yang menghina seseorang atau menyebarkan kebencian seringkali mendapatkan perhatian besar dan menjadi viral. Akibatnya, banyak anak muda yang meniru perilaku tersebut, menganggap bahwa mengejek atau menyerang orang lain adalah sesuatu yang biasa dan sah di lakukan di media sosial. Hal ini semakin di perparah adanya akun-akun anonim ataupun buser yang menyebarkan kebencian tanpa konsekuensi. Keadaan seperti inilah yang dapat menciptakan generasi yang tidak saling menghargai perbedaan dan  mudah terprovokasi oleh informasi dan isu-isu negatif.
2. Mengorbankan Moral Demi Popularitas dan Validasi Digital
Demi menjadi viral, rata-rata banyak para  konten creator rela melakukan apa saja, bahkan melanggar norma yang berlaku. Tidak sedikit juga  anak muda yang mengikuti tren seperti itu dengan membuat konten yang bertentangan atau ekstrem hanya untuk mendapatkan atensi publik. Beberapa contoh fenomena ini termasuk:
* Tantangan berbahaya, seperti aksi ekstrem tanpa pengaman,
* Eksploitasi diri, di mana seseorang membuka kehidupan pribadinya secara berlebihan demi engagement.
* Hoax dan drama settingan, yang membuat kebohongan menjadi alat untuk mendapatkan popularitas.
Jika hal seperti ini terus berlanjut, maka  moralitas anak muda bisa semakin terkikis, dan batasan antara benar dan salah menjadi buram.
3. Mengedepankan Gaya Hidup Konsumtif dan Hedonisme
Banyak konten viral yang menampilkan gaya hidup yang mewah dan konsumtif, seolah-olah kesuksesan diukur hanya melalui harta dan popularitas. Dengan banyaknya terpapar konten semacam ini cenderung akan mengakibatkan anak muda lebih fokus pada pencapaian material tanpa merasakan kerja keras dan prosesnya. Selain itu juga, fenomena ini akan memicu tren memamerkan atau flexing kekayaan tanpa mempertimbangkan sensitivitas sosial tetapi justru memicu pola pikir yang konsumtif. Alih-alih mengapresiasi kerja keras, hal tersebut justru berkemampuan besar menurunkan nilai kesederhanaan dan meningkatkan ketidakseimbangan sosial, karena banyak anak muda lebih terdorong untuk membandingkan diri dengan orang lain daripada mengembangkan potensi diri mereka.