Mohon tunggu...
Tiara Larasati
Tiara Larasati Mohon Tunggu... Sales - mengharap ridho allah swt

berdoa dan berusaha semaksimal mungkin, untuk hasil serahkan kepada pemilik bumi dan langit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

14 Tahun Gempa Jogja: SBY dan Crisis Management Leadership yang Kuat

27 Mei 2020   14:10 Diperbarui: 27 Mei 2020   14:10 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yogyakarta pasca gempa bumi 2006, Sumber: Tribunnews

Hari ini, 27 Mei 2020, bertepatan dengan 14 tahun bencana alam, gempa bumi yang memporak porandakan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang kota budaya tersebut. Korban nyawa berjatuhan. Sejumlah bangunan juga ikut ambruk bersama kepiluan masyarakat Jogja.

Gempa yang terjadi pada pukul 05.55 waktu sekitar menelan korban nyawa sebanyak 4.983 jiwa. Sementara itu, jumlah korban yang mengalami luka-luka mencapai 36 ribu jiwa. Beberapa objek vital seperti Bandara Adi Sutjipto juga ikut mengalami kerusakan pada bangunan dan keretakan pada landasan pacu akibat gempa tersebut.

Kondisi ini juga diperparah dengan isu Tsunami. Satu jam pasca gempa, masyarakat seperti di daerah Bantul berhamburan keluar dan memadati jalan-jalan dengan maksud ingin menyelamatkan diri ke daerah atau dataran yang lebih tinggi. Kecemasan yang disertai kepanikan ini tidak lepas dari peristiwa bencana Tsunami Aceh yang terjadi 2 (dua) tahun sebelumnya. Hantaman Tsunami Aceh yang memporak porandakan Kota Serambi Mekkah itu masih sangat lekat diingatan masyarakat Indonesia.

Untunglah, kala itu Indonesia dipimpin oleh seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mempunyai crisis management leadership yang teruji. Di hari yang sama, SBY memutuskan untuk berkantor di Yogyakarta. SBY berkantor di Istana Kepresidenan di Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gedung Agung. Gedung ini terletak tak jauh dari kraton Yogyakarta. Adapun hal strategis yang dilakukan SBY kala itu adalah mengambil keputusan dengan cepat tentang status bencana dan siapa yang mengambil tanggung jawab mengatasi masa tanggap darurat sesuai UU dan aturan.

Dari situs resmi Kementerian Sosial, kala itu, pada hari yang sama (27/5/2006) pemerintah langsung mendistribusikan hingga 100 ton beras bagi korban bencana. Selain itu, bantuan makanan lain berupa sardencis, kecap, sambel, minyak goreng dan mie instan juga disalurkan kepada masyarakat. Memahami kekhawatiran warga yang masih enggan balik ke rumah karena masih trauma, pemerintah juga mendistribusikan bantuan sandang dan evakuasi kit seperti tenda pengungsian.

Pemerintah kala itu juga menyalurkan bantuan berupa dana tunai kepada korban di area Yogyakarta dan Jawa Tengah. Setiap keluarga dialokasikan menerima bantuan per bulan berkisar Rp 1,050 juta. Selain itu, setiap orang juga menerima bantuan beras 10 kilogram per bulan.

Memasuki tahap rehabilitasi, Presiden SBY pada bulan Juli 2006 menggelontorkan dana sebesar Rp 1,2 triliun untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi di dua provinsi tesebut, Yogyakarta dan Jawa Tengah. Rehabilitasi dan rekonstruksi itu meliputi pembangunan rumah penduduk yang rusak atau hancur. Juga pembangunan infrastruktur yang rusak, seperti jalan, jembatan, pasar, puskesmas, gedung sekolah, fasilitas umum, bangunan pemerintah, tempat-tempat peribadatan, bangunan sejarah, dan lain sebagainya.

Pemerintah bersama relawan dan masyarakat saling bahu membahu dan bergotong royong melakukan evakuasi. Dengan semangat soliditas dan solidaritas, proses Jogja dari sejak tertimpa bencana hingga menuju pemulihan terbilang cepat. Hal itu tak bisa dilepaskan dari kepemimpinan yang mempunyai crisis management leadership, yang mampu mengayomi dan mengajak seluruh elemen untuk bekerja sama keluar dari bencana tersebut.

Dari crisis management leadership SBY kita belajar, kepedulian tidak hanya sebatas untaian kata. Crisis management leadership harus dilakukan dengan tindakan nyata, terstruktur dan terukur. Terlebih penting, setiap kebijakan yang ditempuh harus sesuai dengan aturan hukum dan UU yang berlaku. Jadi tak heran jika dunia mengakui kepemimpinan SBY dalam tanggap darurat bencana dengan memberikan Global Champion of Disaster Risk Reduction.

Sekjen PBB, Ban Ki-moon menyebut bahwa penghargaan yang diberikan kepada Presiden SBY berdasar pada menajemen operasi tanggap darurat Indonesia yang terbukti berhasil dalam menangani krisis kebencanaan. Ban Ki-moon menyebut manajemen kebencanaan yang dijalankan SBY diakui efektif dan menjadi standart internasional untuk pengurangan risiko bencana. Semoga management crisis leadership ala SBY yang diakui dunia ini bisa diadopsi pemimpin hari ini dan mendatang dalam menyikapi bencana-bencana di tanah air, termasuk juga penerapan protokol new normal pada bencana non alam seperti pandemi Covid-19 hari ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun