Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hari….Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Oyib, Menghabiskan Sisa Usianya di Tanah yang Disengketakan

31 Juli 2017   10:06 Diperbarui: 31 Juli 2017   10:09 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wajahnya teduh bijak, tutur kata dan bahasa Indonesianya lembut dengan logat Sunda yang kental, tubuhnya mulai bungkuk dibaluti oleh kulit tubuhnya yang keriput. Usianya kini sudah 84 tahun, malam ini dia duduk bersila bersandar pada dinding semen rumah Ibu Kades, berpeci hitam, celana kain hitam dan berbaju koko putih, kumis dan rambutnya memutih. Dia menunggu peserta pertemuan antar kampung yang akan dilaksanakan di Rumah Kepala Desa Bandung Jaya Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Seperti biasanya, dia adalah peserta yang tertua dan selalu pertama kali datang "Saya lahir di tahun 1933" Katanya ketika saya duduk disampingnya sambil menunggu perserta lain. Namanya Pak Oyib. Saya pertama kali kenal enam bulan yang lalu, diperkenalkan oleh Kepala Desa Bandung Jaya. 

Dialah salah satu peserta Transmigrasi tahun 1954 dikirim oleh Pemerintahan Soekarno yang masih tersisa, sebagian dari temannya sudah meninggal dan sebagian pulang ke kampung asal. "Ketika itu kami berjumlah 600 orang yang dibagi kedalam 12 kelompok atau rombongan masing-masing berjumlah 50 orang" ceritanya dengan suara yang pelan dan sayapun mencatat ceritanya di buku saku yang saya beli tiga bulan lalu di Pasar Desa yang halamannya sudah hampir habis.

Pak Oyib berasal dari Jawa Barat, dia datang ke Bengkulu untuk merubah jalan hidup bersama peserta transmigrasi lainnya. Mereka berasal dari berbagai daerah, dari Jawa Barat, Jojgakarta, Banyumas, Jawa Tengah dan Semarang. Lokasi tempatan transmigrasi berada di kawasan hutan lereng gunung Bukit Kaba, "Kawasan hutan ini belum dijamah oleh manusia." Cerita Pini Sepuh ini. Hamparan hutan yang memiliki tanah vulkanik ini masuk kedalam wilayah Marga Bermani Ilir, yang pusat pemerintahan Marganya ketika itu berada di Kaban Agung. Marga adalah sebutan untuk kesatuan kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang. Dan, Bermani Ilir adalah nama Marga yang diambil dari nama Marga Induk atau Marga asal, namanya Bermani berkedudukan di Kabupaten Lebong. 

"Sesampainya kami disini, kami hanya di biarkan satu tahun didalam hutan" kenangnya, lalu terdiam dan nampak perubahan diwajahnya, kedua alis seperti bersatu dan dua bola matanya membesar bulat. Dia membayangkan masa ketika pertama kalinya dia datang. Sayapun hanyut terbawa perasaan Pak Oyib.  

"Setelah itu barulah kami diasramakan selama dua bulan dan mendapatkan jaminan hidup selama tiga tahun, tahun pertama pada bulan lima sampai enam kami dipindahkan ke lokasi-lokasi tertentu dan diberikan surat izin berladang oleh jawatan transmigrasi wilayah kepahiang" sambungnya dengan intonasi yang dipaksakan seperti menyembuyikan penderitaan yang amat panjang. Saya tahu psikologis Pak Oyib ketika saya minta menceritakan kembali perjalan hidupnya menjadi peserta transmigrasi, dia mengalami pola hidup eccendentesiast, menyembunyikan perasaan sakit di balik senyumnya.Dia seperti mengajarkan saya menjadi orang yang tabah dan kuat dalam menghadapi masalah atau kehilangan, melepaskan semua kesedihan dan memutuskan untuk bahagia bukanberpura-pura untuk bahagia.

Kondisipsikologis yang dialami Pak Oyibmengingatkan saya pada Pak Diran sangguru Agama yang menjabat sebagai Kepala Desa Bukit Sari. Pak Diran ini adalah generasi ketiga jika dihitung dari generasi Pak Oyib. Dia menangis ketika kami pertemukandengan salah seorang Pejabat dari Jawatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Masjid Bandung Jaya. "Saya dan keluarga pernah diusir dan distigmatisasi penganut jaran politik yang dilarang oleh Orde Baru" Katanya sambil menumpahkan air matanya. "saya masih trauma mas," katanya dengan nada yang melankolik tetapi tatap saja dia kuat menyembunyikan kepedihannya.

"Wilayah pertama yangkamitempati untuk pemukiman berada di daerah yang sekarang berbatasan dengan wilayah Bengko" Terang Pak Oyib. Sekarang, kawasan transmigrasi ini di kenaldengan Transmigrasi Bengko. Istilah Bengkomengadopsi tanah Bengko di Jawa, atau tanah yang dikuasi oleh sebuah jawatan resmi. "Di sinilah kami mendirikanbedengan-bedengan untuktempat tinggal peserta transmigrasi yang berjumlah 600 KK" Cerita Pak Oyib. Bedengan yang dibangun berbahan dari kayu hutan, berdinding bambu dan beratap daun pandan hutan atau daun kuangdalam bahasa lokal. Rumah-rumah dibuat saling berdempetan untuk mengantisipasi ganguan binatang buas yang masih banyak berkeliran.Kenangnya.

Tahun 1950-an adalah masa dimana kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Sehingga memunculkan konflik yang dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomidaerah yang lebih luas. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuanganyang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat.

Kondisi Politik ini akhirnya berdampak kepada Peserta Tranmigrasi Bengko,tahun 1959 Pemberontakan ini sampai di wilayah Bengkulu dan wilayah tempatan Pak Oyib dan rumah-rumah bedengan di jadikan sebagai Markas Milisi PRRI, karena takut terjadinya kontak senjataperserta transmigrasi mengungsi turunkewilayah yang tidak jauh dari Perkebunan Teh Kabawetan. Ditempat baru inilah mereka awalnyamembangun rumah-rumah sementara di sepanjangwilayah Bukit Melintang danAir Sempiang sambil berharap bisa kembali lokasi pertama mereka setelah kondisi diangap aman dan kondusif. "Salah satu perkampungan berada di Air Sulak" Kenang Pak Oyib.

Wilayah Bukit Melintang sampai Air Sempiang inisekarang secara adminstratif tersebar memanjangdariwilayah Desa Tugu Rejo sampai Talang Blitar. "Dinamakan Sengkuang, karena di sepanjang sungai Sempiang ditumbuhi tanaman pandan yang sering digunakan untuk bahan topi caping" Kenang Pak Oyib sambil tersenyum tetapi tidak lepas. Karena lebih dekat dan sering berinteraksi dengan penduduk lokal Rejang dan pendudukwilayah Eks perkampungan Perkebunan Teh yang dibawa pemerintahan kolonial Belanda sebagai pekerja perkebunan.Perkampungan sementara inipun berkembang,dalam perjalanannya menjadi perkampungan definitif secara adminsitratif. Perkampungan ini menjadi Desa Adminstratifdiberinama khas pendatang dari Pulau Jawa seperti Bandung Baru, Suka Sari, Tugu Rejo dan lain-lain,perkampungan pertama yang berada di dalam hutan mereka tinggalkan dan dijadikan sebagai lahan garapan. Akulturasi pola tanam dan komoditi pertanian pada lahan-lahanpunberlahanberubah. Perubahan dari corak tanam dan komoditi palawilaya sebagaimana yang tradisipenduduk di pulau Jawa menjadi perkebunan tanaman keras seperti pola perkebunan masyarakat lokal. Dan, kopi menjadi komoditi utama, mereka menanam tanaman keras atau jenis tanaman kayu sebagai pelindung tanaman kopi.Keberhasilan sistem perkebunan ini memicu datangnya masyarakat luar, baik yang datang dari luar Kabupaten maupun yang datang dari luar Propinsi. Hutan yang tersisa semakin terdegradasi akibat perambahan besar-besaran. Tetapi merekalah yang diangap sebagai perambah dan selalu jadi target operasi pengamanan hutan oleh aparat.

Menurut Pak Oyib, selain pola dan corak perkebunan. Dalam sistem dan interaksi sosial, mereka sudah merasa sebagai masyarakat asli. Masyarakat Adat Rejang.Interaksi sosial, budaya atau yang mereka sebutdengan adat, dia menunjukan kepada saya struktur adat Desa Bandung Jaya yang menempel di dinding rumah Kapela Desa dimana pertemuan ini dilakukan. Ketua Badan Musyawarah Adat Desa Bandung Jaya adalah Generasi kedua peserta transmigrasi. "Adat Rejanglah yang kamidahulukan dan adat daridari tempat asal acap kali kamidikemudiankan". Katanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun